Kamis, 03 Agustus 2017

MENCICIPI KEMATIAN dan puisi-puisi lainnya

*Foto: Dokumentasi Pribadi




Mencicipi Kematian

ia resah dan sekarat di musim
senjakala

ia tidur dan kerontang di lembah
dada

ketika maut tinggal sejengkal di hadapannya,
ia menjelma sebagai doa terkhusyuk
dan puisi terbusuk

kehidupannya masygul saja:
handai tolan penjenguk
mengingatkan ia pada gereja tua
yang pernah dibakarnya

*
ia rasa sesal sebelum maut
ia rasa sesal sesudah orang-orang berjubah putih
yang misterius itu mengambil
atmanya dari peti duniawi

padahal, kematiannya sekadar harap
menuju moksa

namun surga yang dirindukannya
terbakar oleh puisi—seperti gereja tua itu

(Denpasar, 2016)


Air Digital

yang kering pun mengalir
di kerontang dahi pemuja.

peluk-kecup tanah menjadi kantuk selir
dewa hujan: memandang yang kau dengar

sebagai anak-anak panah.


(Jakarta, 2016)


Kepada Kelamin

dalam puisi ini
seorang wanita telanjang memandang
kelamin langit
dengan ngeri: di sebuah negeri
ia menjadi jauh dan begitu sangit.
tapi bukankah perang yang
menghancur kelaminnya
adalah sengit-jerit terlampau panjang?

(Jakarta, 2016)


Perihal Doa buat Besok

jendela dan jam dinding
di kamarmu
masih sibuk mencuri waktu

(kau pun masih sangsi mengeram waktu
dengan selapis lelap
dan punggung yang disepuh busuk mani
: gula-gula doa.)

(Jakarta, 2016)


Percayalah, Ini Soal Kau

sejak kutahu kau merokok sajak
aku ingin menjadi api
            yang membakar paru-parumu

sejak kutahu kau pemabuk sajak
aku ingin menjadi belati
            yang berancang-ancang di lidahmu

sejak kutahu kau onani membayang sajak
aku ingin menjadi bibir
            yang mengecup getah kesumatmu

(Jakarta, 2016)



*) Puisi-puisi ini dimuat di Palembang Ekspres edisi 3 Agustus 2017.