Sabtu, 06 April 2024

MENJUAL MAMA -- Sebuah Cerpen

*Sumber Ilustrasi: Pixabay



Mamaku berusia 40 tahun, jerawat pada dahi dan pipinya mirip bakso busuk berlumur darah, dan harusnya membuat pria mana pun berpaling—bagaimanapun aku akan menjualnya seharga empat juta Rupiah per malam.

“Deal!” Anton menjabat erat tanganku, dan kubayangkan seerat inilah kelak tangan beruratnya meremas bongkahan daging. Bibirnya gelap dan pecah-pecah dan basah, senyumnya menunjukkan betapa tak sabar ia menunggu malam besok tiba. “Pakailah satu juta untuk bersenang-senang. Satu juta lagi untuk deposito. Dan dua juta sisanya untuk membeli saham. Harga saham Bank Central sedang turun, kau tahu?”

Anton adalah teman sebangkuku di sekolah, kulit cokelatnya selalu lembap karena keringat, dan jejak keringat dari lengan bawahnya selalu tertinggal di meja. Aku benci ia karena badan gempalnya berbau celana dalam basah yang sedang dijemur—meski agak tertutupi aroma parfum khas pria-pria berjas—tapi di lain sisi aku menyukainya: ayahnya investor kaya, dan bakat bercinta dengan uang tampak jelas menurun padanya, dan, “Akan kuturunkan bakat itu padamu—kalau kau berminat.” Penawaran itu ia ajukan padaku saat jam istirahat di kantin, setelah paginya kuberi ia contekan ulangan agama. Ia menunjukkan iPad dengan layar penuh grafik harga saham, dan aku yakin di sanalah tergambar rahasia kekayaan para investor.

Aku menyetujui penawarannya: aku ingin menjadi kaya dan pergi jauh dari mamaku.

Sejak hari itu, sepulang sekolah kami kerap bertemu di warung makan dekat rumahku. Dinding warung penuh jamur dan pemiliknya tampak ingin bunuh diri di balik meja kasir saking sepi warungnya; dalam suasana ruangan depresif itulah Anton menguliahiku tentang investasi berbekal berbagai grafik dan tabel di layar iPad. Dan seminggu kemudian, berkat warung yang dikelilingi garis polisi sebab si Pemilik Warung menggorok leher sendiri, kuliah investasi dilaksanakan di ruang tamu rumahku dan di sanalah, untuk pertama kalinya, Anton melihat Mama.

Perkuliahan dari Anton selesai pada pukul setengah enam sore, bertepatan ketika Mama pulang dari kantor dengan kemeja putihnya, yang menguning di bagian ketiak dan menampakkan lipatan-lipatan lemak di perut. Mama hanya mengangguk singkat pada Anton seraya melewati sofa tempat kami duduk berdua, lalu menghilanglah ia di balik pintu kamarnya. Dan, setan alas, tatapan Anton tak kunjung lepas dari pintu kamar itu. Aku berkelakar, menyebut tatapannya mengesankan ia ingin memangsa Mama. Anton membalas, “Kata ayahku, orang kaya adalah orang yang tahu cara membuat sesuatu menjadi aset. Aku bisa mengajarkan jurus itu padamu—kalau kau berminat.”

Demikianlah prolog dari penawaran Anton untuk membeli Mama.

Tidak, aku bukan menjual Mama—menurut Anton begitu—melainkan menjadikannya aset, yang akan membantuku dalam berinvestasi secara rutin. Anton menjelaskan hal ini dengan ancang-ancang bergerak mundur, plus persiapan melindungi wajah dengan lengan, semisal aku tiba-tiba melayangkan telapak kaki tepat ke wajahnya. 

Tapi, aku malah tersenyum.


***


Mama lebih dulu menjadikanku aset. Waktu itu aku masih bocah TK, dan beberapa bulan sebelumnya menyaksikan secara langsung Ayah tergilas truk pengangkut uang, saat ia menyeberang ke taman tempatku bermain ayunan. Selama masa berkabung, Om Burhan—teman sekantor Mama—sering berkunjung ke rumah pada sore hari, dan di beranda mereka membicarakan entah apa; terkadang kudengar Mama menahan isak tangisnya. Sesekali Mama menyuruhku membawakan teh untuk Om Burhan, dan pria itu selalu mengelus kepalaku setiap kuletakkan secangkir teh di meja beranda untuknya. Dan selama ia mengelus kepalaku, aku berusaha keras tak melihat perut buncitnya yang berkeringat, yang mengintip dari balik bukaan di antara kancing kemeja.

Setelah lewat masa berkabung, Om Burhan jadi semakin sering bertamu. Mama dan pria itu mulai berbicara di ruang dalam. Lalu, hari demi hari, Mama mulai sering menyuruhku duduk di samping Om Burhan selama mereka berbincang berhadap-hadapan. Aku yang tak mengerti pembicaraan mereka hanya diam seraya membaca komik, dan pria itu mengelus-elus kepala lalu pundak lalu punggungku. Aku masa bodoh dengan hal itu. Sampai suatu hari, dari punggung, tangan kiri Om Burhan bergerak ke pahaku, dan tangan kanannya menyodorkan sejumlah uang ke Mama. Kedua orang dewasa itu kemudian mengajakku ke kamar. Sejak hari itulah aku menjadi aset Mama. Ia cukup duduk di depan cermin, melempariku tatapan membujuk, sementara aku duduk dengan wajah tolol di kasur, selagi Om Burhan melakukan hal yang membuatku ingin memenggal tubuh sendiri dari pinggang ke bawah. 

Sekali waktu aku meringkuk dan menangis di sudut kamarku. Mama memelukku dan berkata akan membelikanku es krim, sedang separuh wajah Om Burhan mengintip dari balik pintu kamar. Aku berbisik, “Aku takut,” dan barangkali aku berkata begitu lebih dari lima kali, sebelum Mama berdiri dan mengajak Om Burhan keluar. Pintu kamarku masih terbuka sedikit. Dan terdengarlah suara tamparan. Dan terdengarlah suara tubuh menumbuk lantai. Dan terdengarlah jeritan Mama—yang terputus segera. Aku semakin takut berpindah dari sudut kamar. Tak lama Mama kembali ke kamarku dengan mata merah berair, ia menamparku dan menarikku ke kamarnya di mana Om Burhan menunggu.

Aku tidak akan bermain sekasar Mama. Toh, rasanya lukaku sudah lumayan terobati, sejak kudengar Om Burhan mati dengan leher koyak di suatu bilik ATM. Aku tidak ingin mendapatkan karma sebrutal Om Burhan karena bermain kasar ke Mama. Aku akan menjadikan Mama aset secara halus, bahkan mungkin tanpa dirinya sadari.


***


Jumat malam, Anton berkunjung ke rumahku dengan tiga porsi spageti bolognese dalam kotak gabus. “Malam yang indah untuk kuliah investasi,” katanya. Sebelum memulai sesi perkuliahan, aku, Anton, dan Mama duduk di meja makan; malam ini Mama tampak ceria karena ia tak perlu repot memasak maupun memesan makanan; malam ini Anton tampak ceria sebab aku, sebagai muridnya, akan mempraktikkan satu tahap penting dalam berinvestasi. Ia tampak tak sabar betul melihatku menjadi sekaya ayahnya; senyumnya lebar saat ia meletakkan seporsi spageti di hadapan mamaku.

“Selamat makan.” Anton menyeka garpu dengan tisu. “Pasar saham boleh mengecewakan, tapi rasa spageti di tempat langgananku ini selalu menyenangkan.”

Kami mulai makan. Dan makan malam tak pernah semenegangkan ini bagiku. Urat-urat kepalaku menjadi batu yang panas; tulang leher dan punggungku menjadi sebongkah es. Bumbu bolognese menempel di sudut bibir Mama, dan ia menjilatnya dengan ujung lidah, dan Anton mencuri pandang padanya seraya memuntir-muntir spageti. Yang kucemaskan hanya satu: mungkin saja aku atau Anton yang dalam lima menit kedepan akan mendadak mengantuk—bukannya Mama. Sebelumnya Anton mengatakan ia sudah memberi tanda khusus di kotak gabus spageti untuk Mama, tapi tetap saja kecemasan menancap di ubun-ubunku, tetap saja peluru bisa melesat ke jantung yang salah.

Seusai makan, Mama kembali ke kamar, dan Anton menunjukkan sejumlah berita politik terbaru lewat iPad, menjabarkan analisanya mengenai pengaruh berita itu terhadap pergerakan harga saham. Jam di sudut kanan layar iPad menunjukkan tepat setengah delapan. Terdengar gerbang rumahku diguncang-guncang angin, dan ventilasi mendesis-desis. Aku tak memerhatikan pembicaraan Anton; pikiranku kembali ke taman itu: aku berdiri menghadap jalan, di mana mayat Ayah tertutup lembar-lembar koran yang cepat memerah. Mayat Ayah dipunggungi dua orang polisi lalu lintas. Mereka tak sekeren empat polisi bersenapan yang berjaga beberapa jarak di samping mereka, mengelilingi truk pengangkut uang yang tumbang menyamping, dengan pintu bak terbuka, dan lembar-lembar uang tercecer.

“Sekarang …?” tanya Anton.

Aku memberinya isyarat untuk menunggu.

Aku melangkah ke kamar Mama. Jantungku jantung seorang yang bersemangat, tapi kakiku kaki seorang yang melangkah ke tiang gantungan. Aku membuka pintu kamar Mama perlahan. Udara dari pendingin ruangan membekap wajahku. Mama berbaring menyamping, membelakangi pintu. Lampu ruangan masih menyala, dan wajah Mama terpantul di cermin. Tidurnya nyenyak. Aku menarik-narik kakinya. Ia sama sekali tak terganggu. Aku pun kembali ke meja makan, tersenyum pada Anton, dan lelaki itu bertanya, “Berapa nomor rekeningmu?”

Sebelum Anton menutup pintu kamar Mama, ia berkata, “Harga saham Bank Central sedang turun, kau ingat?”

Aku mengangguk. Dan pintu ditutup. Hujan pun turun, menutup suara apa pun yang akan terdengar dari kamar mamaku. Itu sungguh melegakan.

Besok pagi, aku akan membeli lot saham pertamaku.




*) Cerpen ini dimuat di Nongkrong.co pada 2 Maret 2024.

Jumat, 15 Maret 2024

PELAJARAN MENJADI DETEKTIF -- Sebuah Cerpen



*Ilustrasi oleh: Basabasi.co




Menjadi detektif adalah menjadi detektif keren adalah menjadi detektif yang memecahkan kasus dengan teknik keren adalah menjadi detektif yang menumbalkan nyawa sendiri demi menjadi keren.

Setelah aku ujian nasional, kami berlibur di vila pribadi di bukit dan badai sedang gencar-gencarnya mengaburkan pemandangan di luar jendela dan tengah malam itu kutemukan Papa telanjang dan tewas di bak mandi—tahiku tak jadi ingin keluar. Mayat Papa terendam air yang merah total, tangan kiri terkulai ke luar bak, mulut tersumpal penisnya yang dipotong. Dan, di samping bak mandi, Pak Anton berlutut seraya menangis, pisau dapur tergeletak di samping kakinya, tangannya berlumur darah—aku hampir meneriakinya sebagai pembunuh, sampai tiba-tiba teringat: dalam novel-novel detektif, yang paling tampak seperti pelaku pasti bukan pelaku.

Alhasil, aku hanya menjerit panjang, membuat Mama dan Mbok Ike berlari ke depan kamar mandi, dan turut menjerit panjang.


***


Setelah mengatur napas, dengan ketenangan khas detektif, aku menggiring Mama dan Mbok Ike dan Pak Anton duduk mengelilingi meja makan di bawah lampu bercahaya pucat, dan usahaku menenangkan mereka tampak percuma: tak ada yang tenang tanpa sinyal untuk menghubungi polisi.

Oh ya, pertama-tama, izinkan aku memperkenalkan ketiga tersangka:

  1. Mama, 40 tahun kalau tak salah, rambut pirang sebahu plus kulit pucatnya membuat ia seperti hantu;
  2. Mbok Ike, asisten rumah tangga, sedikit lebih muda dari Mama, caranya melamun mengingatkanku pada jenglot raksasa;
  3. Pak Anton, sopir pribadi, lebih tua dari Mama barang sepuluh tahun dan seumuran Papa, geligi depan besarnya mirip Freddie Mercury dan aku yakin bukan ia pelakunya, tapi detektif keren memandang siapa pun sebagai tersangka.

Tentu kau heran kenapa aku setenang ini. Jujur, aku tidak tenang-tenang amat; aku hanya merasa kematian Ayah tak seberapa buruk, mungkin karena aku lelah mendengar ia mengoceh. Di matanya yang selalu berkantung, aku hanya bocah yang tak mungkin sukses karena terlalu sering membaca novel-novel detektif dan bukan buku-buku bisnis favoritnya, dan dendamku masih awet semenjak ia membanting laptopku, karena aku menulis cerita detektif pada malam sebelum ujian nasional—dan bukan belajar. Kini, dengan matinya Papa, aku berkesempatan melakukan hal lebih keren ketimbang menulis cerita detektif.

“Mohon perhatiannya!” pekikku, menembus pekikan badai di luar, dan semua melempariku tatapan nanar. “Satu di antara kalian adalah pembunuhnya. Tentu potongan penis di mulut bukanlah hasil kecelakaan, benar? Jadi, dari paling kanan,” aku menunjuk Pak Anton, “jelaskan alibi Anda.”

Semua hening. Kaca jendela bergetar seakan badai akan memecahkannya; ketegangan mencengkeram wajah ketiga tersangka; aku akan bersinar malam ini.

Aku bisa membayangkan bagaimana ini berlanjut: Setelah ketiga tersangka menjelaskan alibi, aku menemukan satu alibi ganjil, dan akan kuperkosa alibi itu habis-habisan, hingga si Pelaku yang panik menyambar pisau dapur dari rak, lalu kugampar ia dengan kursi—dan Hantu Papa bersujud padaku, memohon maaf karena meremehkanku.

“Bajingan!” Mama menggebrak meja. “Tidak usah sok jadi detektif, Bocah! Semuanya, ayo ke kantor polisi!”

Pak Anton berlari ke kamarnya untuk mengambil kunci mobil, dan sepuluh menit kemudian kembali dengan wajah pucat. “Kunci mobil tidak ada di tempat biasa.” Mama baru membuka mulut, pasti hendak meneriaki Pak Anton untuk mencari dengan lebih benar, sebagaimana ia berteriak tiap aku mencari remote televisi, tapi lebih dulu Pak Anton berkata, “Saya sudah cari dengan benar. Tidak ada. Mau ikut ke kamar …?”

“Bukankah itu membuatmu seperti pelaku?” balas Mama. “Kau membunuh suamiku karena … entahlah—lalu kau menyembunyikan kunci mobil dan kita tak bisa ke kantor polisi!”

“Maaf, Nyonya, bukankah banyak pembunuhan bermotif perselingkuhan?”

Mama menampar Pak Anton, dan meneriakkan kalimat yang tak terdengar jelas, dan pria itu membalas dengan teriakan yang sama tak jelasnya—dan aku baru tahu ia berani melawan—dan adu mulut sengit mereka membuatku curiga pada Mbok Ike: ia hanya duduk menunduk dan diam, air matanya mengalir ke pipi, dan di kebanyakan cerita detektif pelakunya adalah mereka yang paling tak menampakkan diri.

Mbok Ike memiliki motif kuat untuk membunuh Papa. Sekali waktu di rumah, untuk meminta uang SPP, aku memasuki ruang kerja Papa tanpa mengetuk, dan kudapati Mbok Ike berjongkok di kolong meja kerja, sementara Papa mendesiskan nama Tuhan seperti orang sekarat—dan aku menutup pintu segera, dan kami tak pernah membahas kejadian tersebut. Menurut analisaku, bisa saja Mbok Ike meminta Papa menceraikan Mama, dan Papa menolak, dan Mbok Ike menunjukkan keahliannya berpisau.

Bagaimanapun, lebih baik aku mengumpulkan alibi para tersangka terlebih dahulu.

Aku menggetok meja tiga kali sampai tanganku berdenyut; Mama dan Pak Anton dan Mbok Ike menoleh padaku. “Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu hujan reda dan mendengarkan alibi masing-masing. Toh, kita tidak mungkin berjalan kaki ke kantor polisi karena lumayan jauh, benar?” Nadaku pasti terdengar sangat detektif; aku hanya membutuhkan pipa cangklong untuk membuat Holmes bersujud. “Baik, agar aku tak terkesan sok detektif, anggap saja aku juga tersangka.”

Aku pun menjabarkan alibi, dari aku yang terbangun tengah malam karena sakit perut hingga aku menemukan mayat Papa dan Pak Anton di kamar mandi.

Mama dan Mbok Ike sontak menatap Pak Anton curiga. Sopir itu langsung menarik napas panjang dan melontarkan alibi: “Saya terbangun karena mendengar erangan dari kamar mandi. Saya langsung mendatangi sumber suara dan pintu kamar mandi tidak dikunci. Saya menangis di sana … dan anak Nyonya melihat saya menangis. Bukan begitu, Nak? Oh, kalian bertanya kenapa tangan saya tadi berlumur darah? Saya mengguncang-guncang tubuh Tuan dan berharap ia hidup kembali.”

“Aku terbangun karena anakku menjerit—sesimpel itu.” Mama beralibi.

“Sama ....” sambung Mbok Ike.

Alibi Pak Anton masuk akal. Kamar mandi TKP berada di lantai satu sebagaimana kamar Pak Anton dan wajar jika ia mendengar erangan tersebut, sedangkan kamarku dan Mama di lantai dua, dan kamar Mbok Ike di lantai bawah tanah.

Alibi Mama dan Mbok Ike terdengar … entahlah. Aku bingung cara menganalisa alibi mereka.

Baik, aku akan memutar otak.

Papa biasa menghabiskan malam di ruang televisi hingga ketiduran. Ruang televisi berada di lantai satu, dan si Pelaku mungkin menyeretnya ke kamar mandi sebelum membunuhnya. Ah, tidak mungkin menyeret—Papa yang paling gemuk di sini, mencapai seratus kilogram. Maka, satu-satunya cara adalah menggodanya ke kamar mandi.

Mbok Ike semakin mencurigakan. Bukankah bercinta di kamar mandi pada tengah malam adalah tindakan ideal para peselingkuh?

Baik, mungkin juga Mama yang menggoda Papa ke kamar mandi. Mama mempunyai motif kuat untuk membunuh Papa. Pada suatu pagi di rumah, aku terbangun karena mendengar Mama membanting piring di ruang televisi dan menjerit-jerit, dan saat aku hendak turun ke ruangan itu Pak Anton dan Mbok Ike mencegatku di tangga.

“Tidak ada orang tua yang ingin pertengkaran mereka disaksikan sang anak,” kata Pak Anton. 

Esoknya, saat Pak Anton mengantarku ke sekolah dengan mobil, aku bertanya apa penyebab Mama dan Papa bertengkar, dan sopir itu menjelaskan: Mama mendapati Papa tidur di ruang televisi tanpa celana, ada sejumlah bekas cupang di pahanya, mengindikasikan bahwa semalam ia berselingkuh hingga ketiduran, “Dan ada beberapa kaleng bir di sana.” Papa menolak menyebutkan siapa pencupangnya, tapi siapa lagi yang bisa kami curigai selain Mbok Ike?

Tapi, jika Mama pelakunya, pada tengah malam aku pasti mendengarnya melewati kamarku sebelum menuruni tangga, sebab setiap langkahnya selalu seperti hendak membelah lantai dan anak-anak tangga.

“Ada kesimpulan, Pak Detektif?” cemooh Mama, membakar sebatang rokok. “Apa kau butuh energi untuk berpikir? Mbok Ike bisa memasakkanmu sesuatu. Ah, tapi sebaiknya jangan—kita tak ingin ada yang mati diracun.”

“Nyonya, bukannya saya bermaksud kurang ajar,” kata Pak Anton, urat-urat bertonjolan di pelipisnya, “tapi orang yang tidak bersalah biasanya lebih banyak diam.”

Mama pun terdiam, menahan diri untuk bicara, menahan diri untuk menyundut mata Pak Anton.

Omong-omong, sopir itu salah. Di kebanyakan cerita detektif, yang paling banyak diam adalah yang bersalah. Para karakter lain dibuat lebih cerewet, lebih dominan, agar perhatian pembaca luput dari pelaku yang sebenarnya—dan Hantu Papa harus bersujud pada kecerdasanku sekarang.

“Maaf, boleh berkomentar …?” ucap Mbok Ike. “Apa mungkin pelakunya bukan satu pun di antara kita? Misalkan perampok …? Maaf jika saya salah.”

“Jenius,” balas Mama. “Mungkin juga ada yang mengarang cerita tentang perampok.”

Aku menggetok-getok meja lagi. “Ada satu hal lain yang harus kulakukan, sambil menunggu badai berakhir.” Aku menyuruh mereka menunggu di sini, tidak ada yang boleh keluar atau tertidur—karena bisa saja merekalah target pembunuhan selanjutnya—dan aku akan memeriksa TKP lalu sekujur vila, menemukan jejak-jejak sang pembunuh, atau mendapati barang-barang menghilang karena diambil perampok.

Aku mengambil sebilah pisau dari rak buat berjaga-jaga, dan melintasi ruang televisi dengan bau rokok dan bir dan keringat Papa, dan tiba di hadapan pintu cokelat kamar mandi. Aku merasakannya, panggilan kuat untuk seorang detektif. Tapi, begitu menyentuh gagang pintu yang dingin, sekujur tubuhku gemetar. Pisau terjatuh dari tanganku. Panggilan itu semakin keras dan menggema. Aku akan muntah. Aku tak siap melihat mayat Papa untuk kali kedua, aku tak siap memutar gagang pintu—tapi tak apa: setiap detektif keren pernah tidak terlalu keren. 

Aku memungut pisau, menarik napas panjang, dan membuka pintu kamar mandi seraya memejam. Aku diam di tempat dan terus memejam dan berhitung: sepuluh detik, dua puluh detik, enam puluh detik: pintu kamar mandi kututup dengan suara yang akan mencapai telinga Mama dan Mbok Ike dan Pak Anton, lalu aku kembali ke ruang makan.

“Siapa pelakunya, Pak Detektif?” cemooh Mama, membakar batang rokok kedua, tangannya gemetar.

“Waktu kita pertama melihat mayatnya,” ucapku, “Papa mengenakan arloji. Bukan begitu, Pak Anton?” Pak Anton mengingat-ingat sejenak, dan aku melanjutkan, “Dan barusan … jam tangannya sudah lenyap.”

Mama dan Mbok Ike menelan ludah. Pak Anton tampak masih mengingat-ingat. Aku mengembalikan pisau ke rak.

“Saranku begini: kita mengunci diri di kamar masing-masing, jangan bukakan pintu pada siapa pun. Begitu badai reda, kita semua harus menghubungi polisi dengan ponsel masing-masing, dari kamar masing-masing. Oh, satu lagi: kita hanya akan keluar ketika polisi tiba.”

“Cukup aman,” komentar Mama, kali ini tak mencemooh. 

“Kau membuatku sedikit tenang, Nak,” kata Pak Anton.

Tentu aku berbohong, tentu aku memiliki sisi pengecut, tapi kau tak bisa meremehkan kecerdasanku. Ketika polisi tiba, aku akan mengambil ponsel setiap tersangka, dan pelaku sesungguhnya tak akan memiliki riwayat panggilan dengan polisi. Simpel dan memukau. Di samping itu, ada kemungkinan lain yang akan kujelaskan sebentar lagi padamu.

Aku menginstruksikan agar kami, pertama-tama, mengantarkan Mama ke kamar di lantai dua. Setelah Mama mengunci diri, kami mengantarkan Mbok Ike ke kamarnya di lantai bawah tanah. Strategi antar-mengantar berfungsi untuk berjaga-jaga semisal pelaku pembunuhan adalah perampok yang akan membantai siapa pun yang berpencar, sekaligus memastikan para tersangka tidak pergi ke titik lain untuk menghapus jejaknya.

Terakhir, aku mengikuti Pak Anton memasuki kamarnya di lantai satu, kamar berukuran empat kali tiga meter dan berlampu kuning.

“Whoa! Kau tidak mengunci diri di kamarmu, Nak …?”

“Kita harus bersama-sama. Kau satu-satunya yang kupercaya—dan percayalah, aku bukan pelakunya.” Aku naik ke kasur, menyibak gorden, dan tampak halaman samping tempat mobil terparkir, tampak kabur karena air hujan mencakar jendela. Inilah kemungkinan lain yang terlintas di kepalaku: “Siapa pun pelakunya, mungkin ia akan menghampiri mobil untuk kabur. Tentu ia yang menyembunyikan kuncinya.”

Dan saat itulah, saat yang terlambat, aku menyadari keberadaan sesuatu di birai jendela, berkilau memantulkan cahaya pucat dari lampu halaman: kunci mobil Papa.

“Pak Anton, kita tidak kehilangan kun—”

Dan leherku ditikam dengan pisau lipat.


***


Menjadi detektif adalah menjadi detektif keren adalah menjadi detektif yang memecahkan kasus dengan teknik keren adalah menjadi detektif yang menumbalkan nyawa sendiri demi menjadi keren.

Aku keluar dari tubuhku dan menyadari bahwa kasus ini telah terpecahkan.

Pak Anton mengambil kunci mobil, dan aku melayang mengikutinya ke kamar mandi, menjumpai mayat Papa, sekaligus Hantu Papa yang duduk telanjang di kloset dan tersenyum miring padaku, syukur tubuh hantunya utuh. Omong-omong, sebagai hantu, aku tak sedikit pun ngeri melihat mayat Papa. Justru yang membuatku menelan ludah adalah Pak Anton yang mendadak menangis dan memeluk mayat Papa dan berkata, “Maaf, Sayang ....”

“Papa, kenapa ia memanggilmu—”

“Aku sudah melihat kebodohanmu,” tukas Hantu Papa. “Kalau kau membaca buku-buku bisnis, pasti kau lebih memikirkan cara melanjutkan perusahaan keluarga ketimbang cara mati dengan tolol.”

Pak Anton berlari keluar dan aku dan Papa melayang mengikutinya. Sopir itu menembus badai membuka gerbang, memasuki mobil, dan kabur tanpa menutup gerbang kembali; hujan menembus tubuhku dan Papa.

“Sekarang, apa …?” tanya Papa.

“Entahlah. Mungkin aku akan ke kamar. Membaca novel detektif. Kalau bisa.”




*) Cerpen ini dimuat di Basabasi.co pada 2 Februari 2024.

MEMPERSIAPKAN KEMATIAN DENGAN SANTAI -- Sebuah Cerpen

 

*Ilustrasi oleh: Tiyok (MI)




“Waktumu 24 jam,” ucap seorang pria di seberang telepon dengan datar. “Persiapkan dengan santai.”

Panggilan ditutup. Pukul 19.08. Di sisi seberang meja makan, anak gadisku, Vianna, sedang menonton sesuatu dari YouTube atau Netflix dengan ponselnya, dengan earphone di kuping. Istriku meletakkan panci besar di tengah meja makan, kepulan uap sup menghalangi wajah Vianna. Di luar jendela, hanya tampak deretan rumah lain dan lampu jalan, semua bercahaya pucat, dan tak tampak siapa pun mengawasi rumahku—tapi aku cukup bijak untuk tak kabur, untuk tak menelepon polisi, untuk tak membuat masalah membesar.

“Besok aku mati,” kataku tiba-tiba, sesantai mungkin, seolah hanya izin ke toilet.

Vianna menjeda tontonan dan melepas earphone dan menoleh ke arahku; istriku menjeda gerakan saat menyendok nasi dari penanak dan menoleh ke arahku. Hening. Uap dari sup dan penanak nasi seperti arwah melayang. Hujan mulai mengetuk-ngetuk kaca jendela seperti detail klise dalam adegan melodrama. Apa arti tatapan mereka?

Apa latihan keluargaku selama ini berfungsi baik?

“Ayah,” kata Vianna, “bayarkan dulu SPP-ku.”

Bagus. Tak ada getaran dalam suaranya. Terdengar sangat santai. Bagus.

“Apa ini latihan ...?” kata istriku.

Bukan pertanyaan bagus. Sebentar lagi piring akan jatuh dari tangannya yang gemetar. Air mata di ujung dagu jatuh ke kerah daster birunya. Latihan selama ini tak berfungsi optimal. Tapi aku harus jujur.

“Ini bukan latihan. Tapi santailah—agar kita semua bisa santai.”

Piring pun terlepas dari tangannya, pecah di lantai—sekali lagi seperti detail klise dalam adegan melodrama—dan istriku menjerit, memukul-mukul kabinet dapur, lalu berlari ke lantai atas dan membanting pintu kamar.

“Tenang, Yah, aku sudah bisa menghasilkan uang sendiri.” Vianna menyusul istriku.

Aku sudah menduga panggilan itu akan tiba, meski sulit menerima bahwa dugaanku tepat. Aku telah melanggar salah satu aturan di organisasi kami: jangan sisakan saksi mata saat menjalankan misi.

Usianya mungkin 17 tahun, saksi mata itu—seumuran Vianna. Setelah membunuh sang ayah di perpustakaan pribadinya, aku tak tega membunuh gadis itu karena bayangan wajah Vianna terus menimpa wajahnya. Jadi, kubiarkan ia hidup, dengan satu syarat: jangan ceritakan pembunuhan ini pada siapa pun—tapi esoknya berita pembunuhan muncul di mana-mana, dan sketsa wajahku tersebar, dan tibalah panggilan itu.

Aku tak tahu siapa tepatnya yang akan mengeksekusiku; aturan lain di organisasi mengatakan bahwa kami, para pembunuh, dilarang saling mengenal satu sama lain—sehingga setiap misi selalu bersifat individu, dan kami tak pernah dipertemukan dalam satu tempat.

Bagaimanapun, aku harus santai. Toh, selama satu setengah tahun, telah kulatih keluargaku untuk bersikap santai jika tiba kematianku.


***


Tentu aku ingin—dan harus—menyembunyikan pekerjaan asliku dari putri dan istriku. Tapi, satu setengah tahun lalu, aku tak tahu bahwa mereka akan pulang lebih cepat dari rumah mertuaku; mereka tiba di rumah pada pukul 23.47, dan aku sedang menjerat leher seorang wanita dengan dasi merah di ruang tengah, seraya menimpa tubuhnya agar tetap telungkup di lantai.

“Tenang, tenang, tenang,” ucapku, menatap lekat tatapan nanar Vianna dan istriku, seraya terus menjerat leher wanita itu, hingga ia berhenti bergerak. “Hei, aku bukan tukang selingkuh.”

“Seperti di film-film Hollywood,” komentar Vianna. Keren, bukan? Dari awal ia sudah berbakat bersikap santai, berbeda dengan istriku yang mendadak pingsan. (Bahkan, hingga berhari-hari setelah kematianku, aku masih kagum pada bakat tersebut.)

Esoknya, setelah istriku siuman, kujelaskan sejujur-jujurnya pada keluargaku soal pekerjaan dan organisasi itu, dan mereka mendengarkan dengan mulut menganga. Tentu tak ada yang menduga bahwa inilah pekerjaan asliku, bahwa aku bukan pustakawan sungguhan, terlebih aku hanya pria kurus berkaca mata dan berambut mangkuk dan mirip ia-yang-selalu-dirundung dalam film-film—tapi pembunuh yang baik memang tak tampak seperti pembunuh. Dan, penjelasan kuakhiri dengan, “Kalian berminat kabur dariku?”

Mereka menggeleng, meski tak tersirat ancaman dalam pertanyaanku. 

Lalu aku menjelaskan soal risiko kematianku, baik di tangan targetku, rekan kerjaku, atau atasanku. Mereka pun menangis. Wajar saja, menerima fakta bahwa suami atau ayahmu bukan orang baik tak sesulit menerima fakta bahwa ia bisa mati sewaktu-waktu, dengan cara selain sakit atau kecelakaan. Di titik inilah aku mendapat ide untuk mengadakan latihan bersikap santai.

Latihan dimulai esok paginya, saat kami sarapan nasi goreng buatan istriku. Aku mendadak berkata, “Besok aku mati.”

Vianna berhenti mengunyah dan menjeda tontonan dan melepas earphone; istriku berhenti mengunyah dan sendok di tangannya terjatuh ke lantai.

“Besok aku mati,” ulangku. “Berikan reaksi yang paling santai. Vianna, silakan.”

“Wow,” balas putriku. “Titip salam untuk Izrail.”

“Bagus. Sayang, giliranmu.”

“Kau pikir ini lucu, Setan Alas?” Suaranya gemetar, air matanya menetes.

“Tidak. Ini cuma latihan.”

Ia berteriak dan meraup nasi goreng dengan tangan dan melemparnya ke wajahku sebelum berlari ke lantai atas dan membanting pintu kamar. Ia kurang santai. Melatih istriku memang tak mudah.

“Bisa berangkat sekolah sendiri hari ini, Nak?” kataku.

“Besok dan seterusnya pun bisa.”

“Terima kasih.”

Latihan kedua kulakukan di sarapan selanjutnya, begitupun latihan ketiga, keempat, dan seterusnya, sampai kalimat, “Besok aku mati,” menjadi sarapan rutin. Tiap hari, Vianna selalu memberi reaksi santai yang mengagumkan, tak jarang komikal, sedangkan istriku diam saja. Bagaimanapun, ada sedikit kemajuan darinya: di latihan kedua hingga ketiga ia langsung pucat begitu mendengar kalimatku, tapi di latihan keempat dan seterusnya ia tak pucat sama sekali, tak peduli sama sekali.

Aku menghentikan latihan rutin di hari keempat belas. Mereka membutuhkan variasi latihan, membutuhkan kejutan yang sehebat kematian sebenarnya. Maka, latihan kelima belas kulakukan dua puluh delapan hari kemudian, setelah mereka yakin bahwa aku bosan dengan latihan.

Hari itu adalah Minggu pagi, pukul 6.50, hujan hampir menghapus pemandangan di luar jendela. Aku berbaring di lantai dapur, dan menikam perut sendiri dengan pisau dapur, dan membelalakkan mata seakan mati akibat serangan kejutan. Beberapa menit kemudian, terdengar pintu kamar Vianna terbuka, dan suara langkahnya mendekat—aku menahan napas—dan ....

“Ayah ...?” Suaranya hampir bergetar. Sejenak ia menarik napas panjang, berusaha bersikap santai. Dan, “Sebelum mati, setidaknya kerjakan PR matematikaku.”

Bagus.

Pintu kamarku dibuka. Terdengar istriku menuruni tangga. Begitu melihatku, ia langsung berlutut di sampingku, menjerit panjang, mencabut pisau dari perutku dan hendak menikam leher sendiri—aku langsung menahan tangannya.

“Hei, hei, kau kurang santai!”

Heninglah sejenak. Pelan-pelan, Vianna mengambil pisau dari tangan istriku.

“Lebih baik latihan seperti biasa saja,” ucap istriku, parau.

“Baik. Bisa tolong antarkan Vianna ke sekolah? Aku harus ke rumah sakit.”

Viana meletakkan pisau di wastafel. “Aku bisa berangkat sendiri.”

“Tidak. Belakangan gurumu menelepon terus soal kau yang bolos.”

“Aku sibuk bekerja di kedai kopi. Semakin banyak tabungan, semakin santai kami menyambut kematianmu. Bukankah itu yang Ayah mau?”

“Terima kasih.” Aku tersenyum. “Tapi dikeluarkannya kau dari sekolah tidak akan membuat kami santai.”


***


Entah kenapa istriku bertanya, “Apa ini latihan ...?” setelah kusampaikan kabar kematianku-yang-sesungguhnya barusan. Biasanya ia diam. Mungkin, dari caraku bicara, ia merasakan sesuatu yang berbeda dari ratusan kali latihan. Mungkin aku sendiri belum sesantai itu. Tapi minimal kami sudah berlatih.

Pukul 19.00 pun tiba. Waktuku delapan menit lagi. Kami berkumpul di meja makan, menyantap pizza. Tadi Vianna dan istriku berpakaian serbahitam, tapi aku menyuruh mereka memakai pakaian biasa, seolah tak ada apa-apa hari ini. Vianna kini bersweter hitam dan rok pendek, istriku berdaster batik cokelat.

“Bagaimana caramu mati?” ucap istriku, sambil mengunyah pizza, tanpa menatapku.

Itu adalah kalimat pertamanya hari ini. Sedari pagi, ia menganggapku tak ada: tak sekali pun menatapku, tak sekali pun bicara padaku—Vianna membisikiku, “Ibu sedang berlatih hidup tanpa kau.”

“Cara kami selalu tak terduga, Sayang. Misalkan, mungkin, pemulung itu diam-diam membawa senapan jarak jauh—stop, jangan menoleh ke jendela.”

Dari jendela ruang makan, tampak seorang pemulung tua menyeret gerobak sampah dengan lamban, dan mengangkat tempat-tempat sampah di depan deretan rumah dengan lamban, seolah tiap gerakan berpotensi mematahkan tulang-tulangnya. Tapi mungkin seluruh tulangnya baik-baik saja. Mungkin ia hanya melambatkan gerakan untuk fokus memantauku.

“Sekali lagi kuingatkan,” kataku, “pembunuh dilarang menyisakan saksi mata.”

“Jadi, sebaiknya kami pergi ke kamar masing-masing,” balas Vianna, dan aku mengangguk.

Istriku menghabiskan pizzanya dan melangkah ke lantai atas tanpa bicara. Vianna masih duduk di tempat, mencocolkan pizza ke saus keju.

“Tolong jaga ibumu.” Sial, suaraku bergetar. “Jangan bolos sekolah lagi. Sekarang, pergilah.”

Vianna menghabiskan pizzanya dan berkata, “Selamat malam, Ayah,” dan memelukku.

Rasanya baru kali ini ia memelukku, setelah bertahun-tahun. Aku ingin menangis. Tapi aku harus bersikap santai. Vianna sudah cukup santai—aku tak boleh membuatnya ikut menangis. Mempersiapkan kematian dengan santai memang tak pernah mudah.

Tiba-tiba, sesuatu yang dingin menyentuh leherku.

Dan leherku disayat.

Vianna mundur beberapa langkah. “Sekarang kau tahu kenapa aku sering bolos,” kata putriku, gemetar, memasukkan sebilah pisau berkilau ke lengan sweternya. Lalu ia mengacungkan jempol ke luar jendela, ke pemulung itu—yang membalas dengan isyarat serupa—dan pergi ke kamarnya seolah tak terjadi apa pun.

Darah melengketkan bajuku ke kulit. Aku tumbang ke lantai. Pandanganku mengabur. Wow. Mungkin, selama ini bukan aku yang berusaha membuatnya santai dalam menyambut kematianku. Tapi sebaliknya.




*) Cerpen ini dimuat di Media Indonesia pada Minggu, 25 Februari 2024.

Minggu, 18 Februari 2024

VIRAL! -- Sebuah Cerpen




Orang bodoh adalah orang yang mati dengan cara bodoh dan gentayangan atas alasan bodoh.

Bintang bunuh diri tanpa wasiat. Sepulangnya aku dari kafe pada malam Minggu, lelaki bertubuh gagang sapu itu telah tergeletak di lantai, pucat, pisau dapur menancap di lehernya; darah meresap ke karpet bulu putih yang tergelar di antara kasurku dan kasurnya, karpet bulu yang kubeli secara daring karena dipromosikan selebriti di TikTok yang tahu betul cara menggoyangkan payudara dan bokong. Itu adalah cara bunuh diri yang bodohBintang mesti berkelejotan penuh derita sebelum mati—dan orang pintar pasti memilih cara mati tanpa sakit. Setidaknya, bunuh diri itu membuat si Sutradara, si Editor, dan si Videografer yang tidur di sebelah kamar kami langsung pindah dari mes ini ke indekos—dan aku menyukai keheningan, meski benci membuang karpet buluku.

Sebodoh-bodohnya cara Bintang bunuh diri, lebih bodoh lagi adalah alasannya gentayangan.

Tujuh hari setelah Bintang mati, sepulangnya aku dari kantor pukul delapan malam, setelah dua belas jam kepalaku terbakar akibat menyelesaikan empat skrip kampanye sabun wajah, saat aku menyalakan lampu kamar, tampaklah temanku itu duduk di tepi kasurnya. Aku memekik. Tapi aku segera menenangkan diri; Bintang sebagai hantu tak seberapa seram. Ia mengenakan celana panjang kain hitam dan kaus putih sebagaimana sehari-hari di kantor. Ekspresi dungunya masih sama: jika sedang tak berbicara, mulutnya terus setengah terbuka, menampakkan gigi tonggos penuh noda kopi dan rokok. Ketiaknya pun masih menyebarkan bau sandal gosong. Apa yang membedakannya kini dengan manusia hidup hanyalah kulit pucatnya plus bekas tusukan di leher—yang untungnya tak lagi mengucurkan darah. Aku bertanya kenapa ia bergentayangan, dan ia menjawab, “Aku ingin melihat kontenku viral.”

Aku langsung memaki si Sutradara dan si Editor dan si Videografer dalam hati. Di ruang kerja tim kreatif, mereka sering mengolok-olok Bintang, dan sekarang ia bergentayangan di depan mataku.

Sejak delapan bulan lalu, Bintang bekerja sebagai penulis skrip pertama di perusahaan kami, dan belum satu pun konten kampanye dari skripnya yang viral. Tim kreatif menjadi samsak tinju atasan. Nama baik tim kreatif terselamatkan dua bulan kemudian, ketika aku bergabung sebagai penulis skrip kedua, dan konten kampanye dari skrip pertamaku langsung viral di TikTok. Waktu itu perusahaan baru mengeluarkan krim pemutih ketiak, dan aku mengonsepkan eksperimen sosial: kamera tersembunyi menangkap reaksi orang-orang begitu melihat seorang wanita berketiak mulus, berkaus tanpa lengan, mengikat rambut di tempat umum.

Tidak semua skrip kampanyeku sukses. Malah lima puluh persen lebih tak mampu menyerap banyak penonton. Tapi tetap saja aku dipuji-puji para rekanku, karena Bintang tak kunjung menghasilkan skrip kampanye yang viral.

 

***

 

Dua hari sebelum Bintang mati, masing-masing kami menulis satu skrip kampanye krim antijerawat dan pelembap bibir. Dan kemarin, konten kampanye krim antijerawatku diunggah ke TikTok, dan per hari ini memperolah lima jutaan penonton. “Sial,” hantu Bintang  menggumam begitu aku memberitahunya soal itu.

Tadi sore konten kampanye krim antijerawat Bintang diunggah ke TikTok. Saat ia bertanya berapa jumlah penontonnya, aku tak tega untuk jujur.

“Di akhirat tidak ada internet, eh?” tanyaku.

“Kau tidak menjawab pertanyaanku,” balas Bintang.

Mengembuskan napas pasrah, aku membuka TikTok dan menunjukkan langsung padanya: tiga jam setelah diunggah, konten baru ditonton sekitar enam ribu orang—angka yang layak dihina, karena kontenku minimal ditonton lima puluh ribu orang dalam sejam.

Bintang pun menutup wajah dengan tangan dan tersedu-sedu. Apakah keviralan konten menentukan layak-tidaknya seseorang masuk ke surga? Aku ingin menepuk-nepuk pundaknya, tapi gagasan menyentuh hantu sontak memberdirikan bulu kudukku. Pasti tak bijak untuk sembarang menyentuh entitas tak dikenal. Jadi aku hanya duduk di kasurku. Aku mengantuk, tapi keberadaan hantu yang menangis bukanlah situasi ideal untuk tidur. Aku ingin menyarankannya kembali ke akhirat dan melupakan urusan konten duniawi, tapi aku takut melukai perasaannya; kita tak tahu apa yang bisa hantu perbuat jika terluka.

Tiba-tiba, entah atas dasar apa, mulutku melontarkan kalimat bodoh: “Aku akan memeriksa skrip kampanye pelembap bibirmu. Skrip itu akan disyutingkan lusa.”

Bintang mendongak ke arahku.

“Maksudku, ayo kita bedah skrip itu. Jika perlu revisi, aku bersedia membantu.”

Mata Bintang berbinar.

Tim kreatif memiliki Google Drive bersama; aku membuka laptop di meja belajar dan membuka fail skrip Bintang. Membaca skrip itu, aku semakin yakin si Sutradara selalu “pasrah” menerima skrip: ide konten ini tak akan viral sampai kiamat!

Beginilah isi skripnya: Tokoh Utama Perempuan berjalan sendiri di mall, tak sengaja bertemu teman-temannya semasa SMA, bertukar kabar, dan tibalah momen bodoh itu, ketika tiba-tiba salah seorang teman bertanya bagaimana bisa bibir si Tokoh Utama Perempuan selalu lembap, dan si Tokoh Utama Perempuan mempromosikan pelembap bibir. Demi seluruh arwah di akhirat, aku berani bertaruh bahwa sembilan puluh persen penonton berhenti menyaksikan iklan ini di tiga detik pertama.

Sebagai tahap awal pembedahan skrip, tentu aku harus menyatakan penilaianku sejujur-jujurnya. Tapi, begitu aku menoleh ke Bintang yang berdiri di sampingku, dengan tatapan berbunyi, “Selamat! Kau baru saja membaca mahakarya!” rasanya aku harus melompati tahap awal ini. Aku takut mengecewakan hantu; kita tak tahu apa yang bisa hantu perbuat jika dikecewakan.

“Bagus,” komentarku akhirnya. Tersenyum tak pernah sesulit ini. Saran terbaikku adalah lupakan skrip ini dan tulis skrip baru—tapi aku malah berkata, “Ada sedikit bagian yang sebaiknya kita revisi.”

Binar di mata Bintang seketika berganti menjadi … percikan api neraka? Ia seolah ingin merasukiku, membuatku melompat dari atap gedung.

“Baik,” balasnya, “bagian mana yang harus aku revisi?”

“Bukan harus, tapi sebaiknya.” Aku berdeham sebelum menjabarkan pendapatku dengan nada seorang dokter yang, kepada sepasang suami-istri, mengabarkan bahwa bayi mereka tak mungkin selamat. Aku menyarankan Bintang menghapus seluruh basa-basi di pembuka, dan memulai adegan langsung saat salah seorang teman SMA bertanya tentang lembapnya bibir si Tokoh Utama Perempuan.

Bintang tersenyum mencemooh. “Kau tak paham seni.”

Setan alas. Jika ia bukan hantu, akan kubuat ia menjadi hantu.

Dengan tatapan merendahkan, Bintang menjabarkan definisi seni padaku, berkali-kali menitikberatkan klausa seni adalah representasi realitas. “Sekumpulan orang bertukar kabar adalah realitas. Realitas akan membuat penonton teridentifikasi. Identifikasi akan membuat penonton ingin membeli produk. Sesimpel itu.

“Penonton bosan pada realitasmu.”

“Kau benar-benar tak paham seni.”

Singkat cerita: Bintang hanya menyetujui penghapusan bagian awal di mana si Tokoh Utama Perempuan berjalan sendiri. Jadi, adegan dibuka langsung saat ia bertemu teman-temannya dan berbasa-basi.

“Kau yang harus menghapusnya,” kata Bintang. “Jika kontenku gagal viral karena bagian itu dihapus, kau akan merasa bersalah.”

Aku memblok bagian itu dan, seperti penjagal yang tak sabar membantai seekor sapi, telunjukku menghunjam backspace.

Bintang pun mengucapkan selamat tinggal dan lenyap seketika.

 

***

 

Selama seminggu hantu Bintang tak pernah muncul. Si Sutradara menyetujui revisi yang kulakukan pada skrip Bintang, dan syuting berjalan lancar. Hidupku damai-damai saja, sampai pada hari ketika konten itu akan diunggah, pada Minggu sore yang mendung dan membosankan. Bintang mendadak muncul dari kekosongan saat aku sedang berbaring di kasur, menonton seorang selebriti menggoyangkan payudara dan bokong dan menarik sepuluh juta penonton di TikTok.

“Semoga aku bisa tenang hari ini,” kata Bintang.

Pukul 16.55. Lima menit lagi konten Bintang akan diunggah. Dan Bintang tak akan tenang hari ini: kontennya yang “realis” pasti tak viral.

Berapa lama lagi aku harus menghadapi hantu bodoh ini?

Tiba-tiba, sebuah portal terbuka di lantai tengah ruangan. Portal memancarkan cahaya kemerahan dan menaikkan suhu ruangan secara drastis. Ujung lidah-lidah api menjilat keluar. Asap dan bau yang sepuluh kali lebih busuk dari selokan hampir meledakkan hidungku. Kemudian, memanjat keluarlah sesosok pria botak dan kekar dan telanjang bulat, kulitnya berminyak dan semerah darah, kepalanya hampir menyentuh langit-langit. Dari ekspresi Bintang, hantu itu jelas tak ingin menemui si Pria Merah. Jantungku berdentam-dentam.

“Jangan kabur lagi, Anak Muda,” desis si Pria Merah.

Ia mencengkeram ubun-ubun Bintang, mengangkatnya tanpa beban, mengarahkannya ke atas portal. Bintang menjerit sejadi-jadinya, mencakar-cakar tangan si Pria Merah yang tetap bergeming. Suhu ruangan terus meningkat sampai kulitku memerah dan berkeringat total, asap dan bau busuk yang memekat membuat mataku penuh air dan kesadaranku hampir melayang. Bagaimanapun, kejadian begini tak akan terulang: aku mengeluarkan ponsel dan mengaktifkan kamera: kejadian ini pasti viral!

Namun, mereka berdua dan portal itu tak tertangkap kamera. Di layar ponsel hanya tampak kamarku sebagaimana adanya, kamarku tanpa kejadian apa pun—bahkan asap yang hampir sepenuhnya memutihkan pandangan juga tak tampak.

Bajingan!!!” Bintang memekik.

Si Pria Merah pun menjatuhkan Bintang ke portal, lantas ikut terjun ke sana dan portal menutup. Udara kamarku seketika bersih dari asap dan bau busuk, suhu menurun ke titik normal. Detak jantungku memelan. Minggu kembali membosankan.

Sayang sekali, aku gagal mendapatkan video yang pasti viral. Tapi untung saja si Pria Merah muncul: Bintang jadi tak perlu melihat kontennya terunggah dengan jumlah penonton sesepi kuburan.

Aku merebahkan diri di kasur dan membuka TikTok. Di FYP, seorang selebriti berjoget, hanya mengenakan tanktop hitam dan celana pendek, dan ia melingkarkan karpet bulu putih ke tubuhnya seperti kemban. Aku perlu membeli karpet bulu baru.




*) Cerpen ini dimuat di Bacapetra.co pada 7 Januari 2024.

ORANG-ORANG DI BUNGKUS ROKOK; dan Puisi-Puisi Lainnya


*Sumber Gambar: Basabasi.co



Orang-Orang di Bungkus Rokok

 

semua pergi ke tempat yang sama:

si penderita kanker paru-paru

si penderita kanker mulut dan tenggorokan

juga seorang ayah yang merokok

seraya menggendong bayinya

—mereka semua, setelah aib terpajang

di bungkus-bungkus rokok

dan hampir tak membuat siapa pun takut,

akhirnya pergi ke surga yang sama,

kerajaan di dalam sebungkus rokok,

di mana batang-batang rokok

tak lain pilar-pilar istana olimpus,

dan bayi itu, yang kini beranjak dewasa,

menyulut sesajen di sela bibirnya

dan para penghuni surga

duduk santai bersandar di pilar

mengembuskan asap ke langit-langit

tak takut pada ujung-ujung cakar cukai

 

(Jakarta, Agustus 2023)




Sekumpulan Ikan


mungkin kau manusia

tapi bagian-bagian tubuhmu

tak lain sekumpulan ikan

yang tak pernah belajar

untuk tak melahap kail


matamu melahap kail

yang menjulur dari layar ponselmu

telingamu melahap kail

yang menjulur dari mulut para tetangga

kakimu melahap kail

yang menjulur dari etalase toko sepatu

di sebuah mall pada minggu yang membosankan


dan tak jarang di minggu lain

yang sama saja membosankannya

jari-jarimu melahap kail dari

pesan whatsapp atasanmu

dan otakmu melahap kail dari

bayang-bayang tentang sederet angka

yang tiap hari memasukkan tangan dinginnya

ke saku celanamu


dan kail-kail lain tak berhenti menjulur:

semua merampas perutmu, pahamu,

dadamu, detak jantungmu,

kuku-kukumu, ketiak basahmu,

hingga pada akhirnya

sekumpulan ikan yang menjadikanmu manusia

berakhir di piring-piring berbeda


dan di tengah hiruk-pikuk yang gelap

tersisa sendiri hatimu

mungil dan menjijikkan

di mata merahnya terpantul

mata kail berlumur darah


(Jakarta, September 2023)




Film Rekomendasimu


hanya berisi lesatan-lesatan peluru

dan hero meninggalkan

bangunan meledak

seperti seribu satu film yang lalu

dan aku menguap di depan laptop

tapi bayanganmu

selama satu jam empat puluh menit

mendekapku seerat rompi antipeluru

ketika to do list hari esok

mengintip dari jendela kantor

membidik jendel kamarku


(Denpasar, April 2023)




Bahasa Dalam Lapisan Termosfer


mereka yang hidup dalam termosfer adalah

para penjarah, selalu melompat ke atap

setiap kata yang berlalu lalang

dan mengoyaknya sedemikian rupa

untuk turun ke ruang utama

dan mencuri apa pun yang kata-kata bawa.


beberapa penjarah kabur dengan membiarkan

kata-kata kembali melintas dalam keadaan kosong;

beberapa penjarah mengganti emas dengan tahi

atau kelopak-kelopak mawar dengan darah

sebelum kabur.


mereka yang hidup dalam termosfer adalah

para penjarah, yang membuatmu semakin membenciku

dan aku semakin membencimu

sebab kata-kata tak lagi berbunyi

atau membuat kita bergidik jijik.


maka baiknya kita banting ponsel masing-masing

dan tidur

atau habisi jarak sialan ini

dengan pesawat atau apa pun

lalu sembunyi 

dalam selimut yang sama

dan biarkan kata-kata melompat

dari mulutmu

langsung ke kupingku.


(Jakarta, Mei 2023)




*) Puisi-puisi ini dimuat di Basabasi.co pada 9 Januari 2024.