Kamis, 26 Juni 2025

MALAM PEMBUNUHAN -- Sebuah Cerpen

*Gambar oleh: Bambang Nurdiansyah



 

Demi Tuhan dari segala agama, jika kelak aku beranak-pinak, jangan sampai ada anakku yang menjadi penyair. Aku tak mau mereka gila. Aku tak mau mereka seperti Ibu.

Ibu tak tampak seperti seorang yang akan menjadi penyair. Ia adalah ibu rumah tangga yang selalu membersihkan debu hingga ke lantai sudut, berani menggoreng apa pun tanpa refleks mundur tiap minyak meletup, dan kuat menahan isak tangis saat menyeterika di ruang tengah seraya menonton sinetron—tapi ia tak sekali pun bersentuhan dengan puisi atau sesuatu yang berhubungan dengan literasi. Sungguh, tak ada gejala-gejala kepenyairan dalam dirinya.

Ibu mendadak menggilai puisi pada Juni tahun lalu, ketika hujan turun hampir setiap malam dan, pada paginya, beranda rumah dipenuhi bangkai sepasukan laron dengan sayap-sayap rontok.

Di Juni itu aku baru lulus SMA. Belum ada satu kampus negeri pun yang menerimaku, sehingga aku seharian menganggur di rumah, seraya mendengarkan lagu-lagu metal dan melatih kemampuan mendengarkan kalimat berbahasa Inggris lewat aplikasi selama berjam-jam.

Di Juni itu pula Ayah keluar kota untuk syuting sebuah drama serial Natal; rencananya syuting berlangsung tiga minggu. Ayah bekerja sebagai asisten penata suara: di dinding ruang tengah terpajang foto-foto ia yang sedang mengangkat boompole dan mengenakan headphone, baik saat merekam suara sungguhan atau sekadar bergaya. Biasanya, beberapa hari sebelum Ayah keluar kota, aku sering mendengar derit ranjang dari kamar Ayah dan Ibu. Namun yang terjadi di Juni itu agak berbeda: kedua orang tuaku terus bertengkar di kamar.

Aku tak ingin mendengar atau mengetahui bahwa mereka bertengkar. Maka selama berjam-jam di kamar aku memutar Slipknot atau berlatih mendengarkan kalimat berbahasa Inggris lewat aplikasi—pokoknya apa pun yang membuat earphone tercantol ke telingaku. Tapi, di momen-momen acak, teriakan Ibu menembus earphone-ku—baik, “Dengarkan aku!” atau, “Kau tak pernah mendengarkanku!” dan sebagainya. Singkatnya, teriakan Ibu mengandung variabel-variabel kata yang membuatku berkesimpulan: Ibu ingin Ayah mendengarkannya, tapi selama bertahun-tahun Ayah hanya sibuk mendengarkan dialog para aktor di lokasi syuting. Hikmah positif yang bisa kuambil: tak ada derit ranjang.

Baik, kembali ke soal Ibu dan puisi.

Pada pagi sehari setelah Ayah berangkat keluar kota, saat aku berbaring di kasur seraya mendengarkan Asking Alexandria, tahu-tahu Ibu memasuki kamarku untuk meminjam laptop, yang biasanya hanya kupakai untuk membuat tugas presentasi dan menonton video-video dalam folder tersembunyi. Selain tak pernah bersentuhan dengan literasi, Ibu juga tak pernah bersentuhan dengan laptop. Saat kutanya untuk apa Ibu meminjam laptop, ia menjawab, “Menulis puisi.” Sesingkat itu. Sedatar itu. Matanya sembap. Bibir bawahnya gemetar. Dan aku mengangguk. Ibu pun menyambar laptop—plus headphone—di samping bantalku.


***


Ibu terburu-buru menyapu dan menyeterika dan memasak banyak—hingga lauk-pauk cukup untuk sarapan hingga makan malam—sebelum membuka laptop di meja makan untuk menulis puisi. Entah apa yang ia dengarkan lewat headphone; tatapannya terus terjerat ke layar, jari-jarinya terus mengetik; ia tak peduli pada aku yang makan di hadapannya, tak peduli pada lezatnya aroma nugget dan tempe goreng dan telur dadar dan nasi goreng dan ceker goreng dan tumis sayur di meja makan, tak juga bereaksi saat beberapa kali aku memanggil, “Bu ....”

Semua seharusnya baik-baik saja—toh, Ibu tak melupakan satu pun pekerjaan rumah tangganya—tapi aku terganggu oleh caranya menulis puisi: ia terus menggumam tak jelas dan cepat, mirip bisikan hantu-hantu di film horor. Aku pun terdorong menghabiskan sarapan secepat-cepatnya, meletakkan piring dan gelas dan sendok-garpu kotor ke bak, dan kembali ke kamar.

Karena sedang bosan mendengarkan lagu metal atau berlatih mendengarkan kalimat berbahasa Inggris, lewat ponsel aku membuka situs film bajakan, dan teringat pada film yang sudah lama kutonton: Dead Poets Society. Aku pun menontonnya ulang dan berkali-kali menguap dan tertidur di pertengahan film. Dalam tidurku, aku bermimpi Ibu berdiri di atas meja riasnya dan berseru, “O Kapten! Kaptenku!”

Aku terbangun pada jam makan siang. Dan, di ruang makan, ternyata Ibu masih menulis puisi. Matanya memerah, seakan sedari tadi tak sekali pun berpaling dari layar laptop—ataukah memang begitu?—rambut serta kausnya basah oleh keringat—di sini memang gerah—dan gumamannya masih seperti tadi pagi.

“Ayo makan siang, Bu.”

Jari-jari dan gumaman Ibu berhenti. Tapi ia tak kunjung menjawab. Seolah ajakanku hanya lalat yang sekejap melintas menyenggol ujung bulu matanya. Ia pun kembali mengetik, mengetik, mengetik, dan menggumam, menggumam, menggumam, sedangkan aku mengambil nasi dan lauk-pauk dan makan secepat-cepatnya—sampai dua kali tepi lidahku tergigit geraham. Ibu pasti belum sarapan: beberapa kali ia berserdawa dan perutnya keroncongan. Saat aku ke dapur, piring dan gelas dan sendok-garpu kotor yang kupakai untuk sarapan masih ada di bak, padahal biasanya Ibu yang mencucikan alat makan siapa pun, dan akan langsung mencucikannya begitu alat makan mendarat di bak. Keringat, plus serdawa dan perut keroncongan, plus alat-alat makan kotor di bak: Ibu pasti belum bergerak dari depan laptop sama sekali.

Saat kembali ke kamar, aku sengaja lewat di belakang Ibu untuk mengintip apa yang ia tulis; bau keringatnya seperti handuk basah yang berhari-hari digantung di kamar mandi. Ibu tak menoleh sama sekali ke arahku, tapi, “Jangan ganggu. Kau akan membacanya nanti,” ucapnya dingin.

Ibu tak pernah sedingin itu padaku. Aku pernah mendengarnya dingin kepada Ayah, tapi tidak kepadaku. Aku segera kembali ke kamar dan berbaring menatap langit-langit dan merenungkan seberapa besarkah dosaku karena penasaran akan puisinya. Dan, hal lain yang kurenungkan adalah judul puisi Ibu: Malam Pembunuhan. Ibu tak pernah bersinggungan dengan puisi maupun pembunuhan—kenapa ia menulis puisi seperti itu?


***


Menjelang pukul tujuh malam, hujan mengaburkan pemandangan halaman belakang di jendela kamarku. Kipas angin menggigilkan tubuhku dan selimut hampir tak menolong. Perutku keroncongan, dan mataku pegal karena terlalu lama menatap layar ponsel. Dari posisi berbaring, aku baru saja duduk saat tiba-tiba Ibu masuk dan meletakkan laptop yang menyala di pangkuanku, laptop yang membakar pahaku.

“Bacalah,” kata Ibu—bau keringat dan mulutnya menyodok lubang hidungku: ia belum sikat gigi pun mandi.

Fail Word telah terbuka. Ibu menggulir fail sampai ke halaman terbawah: puisi dan puisi dan puisi.

“Enam puisi selama kira-kira sebelas jam. Bacalah.”

Mata Ibu lebih merah ketimbang di jam makan siang, seolah seseorang barusan mencoloknya. Napasnya pun menggebu, seakan ia habis mengangkat galon mengelilingi rumah. Dan, senyumnya: Ibu tak pernah tersenyum seperti itu: lebar dan ganjil—senyum seorang psikopat di film horor setelah membantai korbannya. Aku yang semula ingin makan malam terlebih dahulu pun mengangguk pada perintah Ibu. Aku menggulir fail Word ke halaman teratas, ke puisi pertama berjudul Semua Harus Berakhir, dan membacanya:


            Semua harus berakhir

            Semisal hubungan kita

            Semisal hidupmu


Jantungku tercelus. Itu baru paragraf pertama. Hubungan siapa yang Ibu maksud? Hidup siapa yang Ibu maksud? Apakah karena bertengkar dengan Ayah, Ibu ingin menceraikan dan membunuhnya? Kenapa Ibu harus menulis puisi seperti ini?

“Kenapa kau berhenti di paragraf pertama?” kata Ibu, senyumnya tetap bertahan. “Mata kosongmu tidak bisa berbohong.”

Aku berdeham, dan membaca paragraf-paragraf selanjutnya, puisi-puisi selanjutnya, termasuk Malam Pembunuhan. Aku tak mengerti bagaimana menilai baik-buruknya suatu puisi; yang jelas puisi Ibu berisi kesedihan dan kemarahan kepada seseorang (Ayah?), dan hampir tak mengandung … hmm … bahasa tingkat tinggi? Entah, aku tak tahu bagaimana cara menjelaskannya—maksudku, tak ada pengandaian-pengandaian atau semacam itu di setiap puisi Ibu. Begitulah ....

“Bagaimana menurutmu?” tanya Ibu, begitu aku tiba di halaman terakhir, tatapanku menyentuh larik terbawah.

“Bagus ....” balasku. “Untuk lebih jelasnya, bisakah kita berbicara sambil makan malam?”


***


Makan malam berjalan lebih buruk ketimbang sarapan dan makan siang. Ibu tak lagi menggumamkan puisi secara mengganggu, tapi ia terus memandangi aku yang sedang makan, tak sabar menungguku selesai dan melontarkan penilaian lebih lanjut terhadap puisinya. Kami duduk berhadapan di meja makan, terpisah kira-kira lima jengkal, tetapi caranya menatap membuatku merasa wajah Ibu berada tiga ruas jari di depan hidungku. Sesekali Ibu berserdawa dan keroncongan, tetapi yang menarik minatnya di meja makan hanyalah sudah seberapa sedikit makananku.

“Baik, sudah habis,” ucap Ibu, tepat saat suapan terakhirku, sebelum aku sempat mengunyah. “Kau bisa melanjutkan penjelasanmu sekarang.”

Aku ingin mengulur waktu dengan mengunyah lama-lama dan mencuci alat-alat makan terlebih dahulu—sekaligus menggosok kloset bila perlu. Tapi penguluran waktu seperti itu terlalu ceroboh: Ibu tahu aku tak pernah mencuci alat-alat makan—apalagi menggosok kloset. Terlebih, aku takut pada tatapan dan senyumnya, yang berkali-kali membuatku refleks menelan tanpa mengunyah. Ekspresi itu menyiratkan bahwa sekali saja aku bermain-main, ia akan menyambar garpu dan mengoyak leherku. Jadi, setelah menenggak air minum hingga tandas, aku berkata, “Puisi Ibu … bagus. Aku bisa merasakan emosinya secara kuat.”

Perihal merasakan emosi secara kuat, perkataan itu kucomot dari seorang kritikus seni dalam dokumenter tentang seorang pelukis legendaris; dokumenter itu iseng kuunduh secara ilegal dan kuhapus karena sukses membuatku ketiduran. Si Kritikus mengucapkan perkataan tersebut untuk mengomentari sebuah lukisan abstrak karya sang legenda yang terjual ratusan juta Rupiah; mestinya perkataan itu cocok juga untuk dipakai mengomentari puisi—meski aku ragu puisi Ibu bisa dijual sekalipun seharga sebungkus nasi.

“Emosi apa yang kau rasakan secara kuat?” tanya Ibu lagi.

Dan aku menyesal karena telah ketiduran saat menonton dokumenter itu. Harusnya ada kalimat si Kritikus—atau narasumber lain—yang bisa kucomot untuk menjawab pertanyaan Ibu, tapi aku menyia-nyiakannya.

Yang membuatku lebih menyesal lagi adalah, saking tak tahunya harus menjawab apa, aku malah berkata, “Apa Ibu … membenci Ayah?”

Senyum Ibu seketika lesap. Tatapannya nanar. Lalu hening. Dan dalam keheningan, sesekali tatapan Ibu terarah ke samping, kadang ke atas, kadang ke bawah—ke mana pun selain ke wajahku—dan air matanya mengalir, menggantung di dagu.

“Maaf, Bu ....”

Ibu tak menjawab. Pundaknya gemetar, semakin banyak butir air mata yang mengalir ke dagu dan jatuh ke meja makan. Mungkin aku harus memeluknya. Mungkin aku harus memeluknya seraya mengucapkan maaf. Mungkin aku harus memeluknya saja dan tak mengucapkan apa pun sebab ucapankulah yang membuatnya menangis. Masa bodoh! Aku cepat-cepat ke dapur, mencuci seluruh alat makan yang kupakai sarapan dan makan siang, sembari berusaha mengabaikan isakan Ibu yang merayap dari ruang makan.

Aku mengakhiri sesi mencuci alat-alat makan, yang kulambat-lambatkan, saat isakan Ibu menipis. Mungkin ia lebih tenang sekarang. Saat aku kembali ke ruang makan, rupanya Ibu tak lagi di sana; ia menangis dari kamarnya yang tertutup, dan kedengarannya, saat kutempelkan telinga ke daun pintu, tangisan itu belum mereda sama sekali sedari tadi.

Aku kembali ke kamarku. Aku ingin membaca puisi-puisi Ibu sekali lagi, kali ini lebih fokus, barangkali aku akan mendapat petunjuk tentang sikap aneh Ibu yang muncul mendadak—tapi laptopku tak ada di kamar.

Mungkin aku akan langsung tidur, jika tak terdengar ngeong dan cakar-cakaran pada pintu ruang depan. Poppy: kucing liar oranye itu, begitu aku keluar ke beranda, langsung melingkar-lingkari kakiku seraya menggesekkan tubuh tanpa berhenti mengeong, dan matanya—seperti biasa—berkaca-kaca seolah berkata, Cintailah aku dengan segenap rasa gemas. Tiap jam makan malam ia mampir ke beranda rumahku dan mencakar-cakar pintu; entah ke rumah siapakah ia di jam sarapan dan makan siang, aku pun Ibu tak terlalu peduli, pun diberi nama siapakah ia di rumah-rumah lain. Biasanya Ibu yang memberi kucing itu makan, berupa apa pun yang ada di meja makan. Aku memberinya sepotong paha ayam dan segenggam nugget goreng; semua kuletakkan di samping kaki kursi beranda, dan Poppy makan dengan rakus, dan kuelus-elus kepalanya dengan jempol kaki.

Angin menggigilkanku, seolah tangan-tangan es menyelip ke balik bajuku. Sepasukan laron mulai terbang mengelilingi lampu beranda rumahku juga rumah para tetangga. Warna oranye di langit perlahan-lahan menghitam dan cahaya lampu beranda memucat. Makanan Poppy sudah habis, tersisa tulang paha ayam, lalu kucing itu keluar lewat celah bawah gerbang—dan perasaan bersalah terhadap Ibu terus mencengkeram ubun-ubunku.


***


Gerimis mengetuk-ngetuk atap, angin membelokkan butir-butir air ke wajahku. Aku berdiri dari kursi beranda dengan bokong yang pegal, melakukan peregangan ringan, sebelum kembali ke ruang dalam—ketika terdengar dari kamar Ibu: “Semua harus berakhir/Semisal hubungan kita/Semisal hidupmu,” dan larik-larik lanjutannya.

Aku mendekati kamar Ibu dan menempelkan telinga ke daun pintu. Caranya membaca puisi mengingatkanku pada cara Pak Subadi membaca Aku dari Chairil Anwar di depan kelas, dengan mata berkaca-kaca dan seruan murka khas binatang jalang saat peluru menembus kulitnya. Pembawaan begitu membuatku membayangkan Ibu berdiri di atas meja rias sambil meraung-raung.

Hingga tengah malam, saat hujan deras menembak kaca jendela kamarku bertubi-tubi, masih kutangkap samar-samar seruan puisi Ibu. Tak kuragukan lagi: Ibu benar-benar gila karena puisi. Mungkin ketika aku ketiduran, Ibu pun belum selesai meraung-raung di atas meja rias.


***


Segila apa pun orang terdekat kita, lama-lama kita akan terbiasa dan tak lagi peduli.

Empat hari lagi Ayah pulang dan aku tak sabar menunggu reaksinya terhadap ledakan jiwa penyair Ibu. Pertengkaran mereka pasti semakin seru jika Ibu membacakan puisi di depan wajah Ayah.

Omong-omong, selain puisi-puisi yang Ibu tulis di hari pertama, ia tak lagi menyuruhku membaca pun mengomentari satu pun puisinya. Mungkin ia tak siap kubuat menangis untuk kali kedua. Dan setelah kubuat menangis malam itu pula, Ibu tak pernah menulis di meja makan lagi. Ia dan laptopku seharian berada di kamar; gumamannya selama menulis samar-samar merayap keluar dari celah bawah pintu bersama bunyi hantaman bertubi-tubi pada papan tik. Ibu hanya keluar untuk mengambil makanan dan memakannya di kamar—padahal, sedari aku kecil, Ibu selalu melarangku makan di kamar. Sungguh, puisi membuat orang dewasa lebih dungu ketimbang anak kecil.

Dua hari menjelang kepulangan Ayah, saat aku mengunyah tahu petis lambat-lambat di meja makan sekitar pukul tujuh malam, saat udara dingin memompa kantuk dalam tubuh siapa pun, Ayah meneleponku: ia mengabarkan dirinya tak jadi pulang dua hari lagi. Ia sudah menandatangani kontrak untuk mengerjakan serial selanjutnya di kota yang sama, jadi ia akan pulang sebulan lagi. Kantuk langsung melesat jauh dari tubuhku.

“Tolong sampaikan ini ke Ibu,” lanjut Ayah, perasaan bersalah menggantung pada suaranya. “Sudah cukup Ayah membuatnya sedih ....”

Terima kasih, Ayah—aku jadi harus membuat Ibu sedih sekali lagi.


***


Di meja makan, aku meninggalkan surat berisi kabar penundaan kepulangan Ayah; tak lupa kucantumkan nama penginapannya, barangkali Ibu ingin menghampiri dan menamparnya. Inilah kali pertama aku menulis surat untuk Ibu. Dalam situasi normal pun aku tak akan sanggup menyampaikan kabar itu ke Ibu—apalagi sekarang: kubayangkan Ibu langsung menjerit, melompat ke meja makan seperti singa menggila, dan mengaumkan larik-larik puisi tentang pembunuhan. Surat itu kujepit di bawah piring tahu, dan aku cepat-cepat kembali ke kamar—dan pada tengah malam, sesudah lampu kamar kupadamkan dan angin kencang menggetarkan jendela, dari ruang makan kudengar Ibu menangis meraung-raung.


***


Pasti semalam hujan benar-benar deras: air memercik lewat lubang udara dan mendarat di meja belajar tepat di bawahnya; bagian atas gorden basah hingga warnanya dua kali lebih gelap ketimbang bagian yang kering. Saat kubuka pintu kamar, Ibu melewatiku menuju pintu keluar. Ia membawa tas selempang dan bercelana panjang putih dan berbaju motif bunga-bunga: Ibu akan pergi tapi jelas bukan ke pasar.

“Ibu akan menjumpai Ahmad Baron,” balas Ibu setelah kutanya tujuannya. “Redaktur puisi Suara Urban.” Ibu terus mencengkeram gagang pintu selama bicara, tak sabar ingin pergi secepat-cepatnya.

“Wow .... Perkembangan karier Ibu di dunia puisi melesat, kurasa …?”

“Tidak. Lebih dari tiga minggu lalu, Ibu mengirim puisi-puisi ke surel Suara Urban. Dan semalam, Ibu menerima surel penolakan. Tidak tertulis alasan penolakannya. Hanya ada kalimat yang menyatakan penolakan. Ibu akan menemuinya—sekarang.”

Ibu langsung keluar, tanpa menutup pintu beranda. Sayap-sayap laron yang terserak di beranda tertiup memasuki ruang depan. Aku menyusul Ibu saat ia menggeser gerbang.

“Bu, tunggu. Sudah baca suratku semalam …? Maksudku, yang di meja makan ....”

Sejenak Ibu menghela napas panjang. “Sudah. Dan Ibu menangis semalam karena surel penolakan puisi. Hanya itu.”

Ibu pun pergi.


***


Bau keringat Ibu menghunjam hidungku begitu kubuka pintu kamarnya, muntahan menyentak amandelku dan cepat-cepat kutelan. Aku tak tahu bau keringat Ibu bisa seburuk ini. Bau bersumber dari lantai sudut kamar: pakaian kotor Ibu teronggok. Jika aku mengonggokkan pakaian seperti itu, Ibu pasti menghajar ubun-ubunku dengan panci—dan Ayah akan mencolok kerongkonganku dengan boompole. Dulu Ibu yang selalu memarahiku jika berantakan seperti itu, tapi lihatlah sekarang: Apa yang puisi perbuat kepada Ibu?!

Di meja rias, laptopku terbuka dengan layar padam, kabel pengisi daya tersambung ke stop kontak, dan lampu mungil bersimbol baterai di bawah bantalan sentuh menyala hijau. Aku menekan tombol enter untuk menyalakan layar—dan ujung telunjukku melepuh! Puji Tuhan—berapa lama laptopku tak dimatikan?! Aku cepat-cepat mencabut kabel pengisi daya. Saat desktop terbuka, udara membatu dalam kerongkonganku: desktop dipenuhi fail Word, seolah seseorang baru saja melempar seisi tong sampah dapur ke layar laptopku. Dan, lihatlah papan tiknya: setiap huruf dipenuhi sidik jari. Ibu pasti menulis puisi tanpa mencuci tangan, setelah mencabik-cabik makanan berminyak!

Aku mematikan laptop dan menutupnya. Napasku seketika lega, aku tak perlu melihat fail Word berserakan lagi. Awalnya aku memasuki kamar ini untuk membaca puisi-puisi Ibu, mencari petunjuk soal setan macam apa yang ada di kepalanya, tapi aku tak tega menyiksa laptopku lebih lanjut. Maka, selamat beristirahat, Laptop, kau mesin yang baik dan tak layak masuk neraka—bagaimanapun, jika kudengar Ibu pulang nanti, aku akan cepat-cepat menyalakan laptop dan membawanya ke posisi penyiksaan semula: Ibu tak perlu tahu bahwa aku memasuki kamarnya.

Tapi, sekarang apa? Sarapan …?

Ibu tak memasak apa pun—luar biasa. Tak ada telur pun tahu pun tempe pun nugget pun apa pun dalam lemari es. Aku ingin memesan makanan atau pergi ke warung terdekat, namun tak kutemukan selembar uang tunai pun dalam dompetku. Bajingan.


***


Melalui jendela, terik siang memanggang seisi ruang dalam rumahku, dan bau lembap merebak ke mana-mana, dan asam mendidihkan lambungku. Sekaranglah waktu yang tepat untuk berutang di warung makan.

Terdengar gerbang digeser. Aku berlari keluar, berharap Ibu pulang membawa lauk-pauk atau bahan masakan—tapi ia malah pulang bersama dua orang polisi di kiri-kanannya.

“Selamat siang,” kata salah seorang polisi; pipinya seperti karung pasir, satu lengannya membelit lengan Ibu. “Benar ini Ibu Anda?”

Dari sanalah awal mula aku tahu: hewan buas telah berkembang biak di kepala Ibu gara-gara puisi. Singkat cerita, di kantor Suara Urban, Ibu mencakar pipi Ahmad Baron hingga kulit dan dagingnya terkoyak, tapi redaktur itu cukup berbaik hati dengan meminta kedua polisi mengantarkan Ibu pulang dan bukan ke penjara. Saat aku bertanya pada Ibu soal kebenaran kabar itu, ia tak menjawab dan langsung masuk ke ruang dalam, lalu kedua polisi berbasa-basi sejenak denganku di beranda sebelum pergi.

Ibu mengunci diri di kamar, tak menjawab saat aku mengetuk pintu dan berkata, “Bu … kau baik-baik saja?” Minimal ia masih hidup: isak tangisnya berkata begitu. Untung saja aku yang menghadapi situasi begini. Jika aku adalah Ayah, niscaya kesabaranku terkuras habis dan akan kudobrak pintu, lantas kuhajar Ibu bertubi-tubi dengan boompole-ku.

Akhirnya, menyerah menanti jawaban Ibu, aku pergi ke warung makan dan berutang untuk sepiring nasi plus telur dadar plus tempe orek dan segelas es teh manis. Aku duduk di meja keramik tempat etalase makanan memanjang. Di dalamnya lalat-lalat terkurung dan beterbangan mengitari lauk-pauk. Kucing-kucing liar mengeong bersahutan seraya duduk mengelilingi meja sudut, di mana seorang pria botak makan sendiri, sesekali menjatuhkan sepotong makanan ke lantai dan kucing-kucing menyerbunya. Di langit-langit di atasku, kipas angin berputar berguncang-guncang pada porosnya, decitnya seolah berkata bahwa dalam waktu dekat ia akan jatuh, pedang-pedangnya akan memblender kepalaku.

Makan siangku terkesan akan baik-baik saja, sampai tiba-tiba aku hampir tersedak potongan telur dadar karena di TV, yang dipasang di atas meja si Pria Botak, kulihat wajah Ibu. Pada kepala berita tertulis: Seorang Wanita Menyerang Redaktur Suara Urban. Adegan pertama setelah si Pembawa Berita menyampaikan pembuka adalah rekaman amatir dari sebuah ponsel, ketika Ibu sedang menghimpit seorang pria—Ahmad Baron?—ke dinding seraya mencakar-cakar pipinya, dan beberapa orang segera menahan tubuhnya dari belakang. Adegan selanjutnya diambil dengan kamera profesional: Ibu digiring dua orang polisi yang tadi datang ke rumahku. Kemudian kutajamkan pendengaran ketika Ahmad Baron diwawancarai; tampon luka menutupi pipi kanannya.

“Ia datang tanpa perjanjian,” kata Ahmad Baron. “Ia langsung menggebrak meja, bertanya kenapa saya menolak puisi-puisinya. Saya tidak ingat yang manakah puisi-puisinya—setiap hari saya membaca ratusan puisi yang masuk ke surel dan menolak ratusan juga.” Ahmad Baron melanjutkan, Ibu memaksanya membuka surel dan membaca ulang puisi-puisinya. Karena tak menginginkan keributan, redaktur itu menurut, sebelum menjelaskan alasan penolakannya: “Tidak ada yang istimewa dari puisi-puisinya, sungguh. Hanya tentang kemarahan dan hasrat membunuh—dan tiap hari saya membaca puisi-puisi seperti itu. Ia sama sekali belum mendalami kemarahan dan hasrat membunuh, apalagi teknik-teknik menulis puisi. Dan setelah mendengar komentar itu, ia menyerang saya.”

Berita pun berganti ke judul lain. Dan puji Tuhan, di warung ini, tak ada yang memerhatikan TV selain aku.


***


Mendalami kemarahan dan hasrat membunuh: Perkataan itu terus mendengung dalam kepalaku selama perjalanan pulang dari warung makan; sebuah motor hampir menghajarku saat aku hendak menyeberang tanpa melihat ke kiri dan kanan. Jika tanpa mendalami kemarahan dan hasrat membunuh Ibu sudah jadi semengerikan itu, mungkin ia akan menjadi spesies yang layak disuntik mati setelah sukses mendalami keduanya. Mungkin para penyair terbaik dunia sangat layak disuntik mati ....

Setibanya aku di rumah, TV telah tergeletak di lantai ruang tengah, pecahan layarnya terserak. Dan, Ibu berdiri di dekat TV dengan bahu gemetar, tangan gemetar, tungkai gemetar. Seketika suara angin lesap, suara kendaraan-kendaraan di luar lesap, hanya ada beratnya napas Ibu.

“Bu …?”

Ibu menoleh. Sebelah matanya nanar. Matanya yang lagi satu tertutup rambut yang basah oleh keringat. “Tenang,” ucapnya, hampir mendesis. “Ibu hanya mendalami kemarahan dan hasrat membunuh.”


***


Entah apakah Ayah sudah mendengar berita tentang Ibu atau belum. Ia belum menghubungiku dan bertanya kabar soal Ibu. Aku pun jadi ingin mengabarinya, tapi tak berani: Ayah tak ingin mendengar kabar buruk dari rumah selama syuting. Ayah mengatakan hal itu secara langsung, waktu kami memakan steik di sebuah kafe, dan ia berbicara seraya memotong daging sampai tangannya berurat, tatapannya hanya terarah ke daging, suaranya dalam. Tiga hari sebelumnya, Ayah baru saja membentak-bentak Ibu lewat telepon, karena Ibu mengabarkan soal aku yang tak diterima di SMA negeri mana pun. Mengingat kengerian di wajah Ibu begitu Ayah membentaknya, aku jadi tak berminat memancing bentakan serupa.



*) Cerpen ini dimuat di Kalam Sastra pada Mei 2025 dalam dua bagian. Ini adalah bagian pertamanya. Bagian kedua bisa Anda baca di sini.

4.695135, 96.749397; dan Puisi-Puisi Lainnya

*Sumber Gambar: openart.ai




4.695135, 96.749397.


keimanan sebatas padi

merunduk pasrah

dan berhalusinasi: sebongkah gereja

menjelma burung-burung

dan para petani sedang hibernasi

memeluk boneka sawah di ranjang 


(Jakarta, Oktober 2023)

 



Waktu di Suatu Tempat yang Jauh

 

di sana, waktu

tidak bersayap tidak berkaki

dan tangan-tangan ajaib

membuatnya, tiba-tiba, tiba

pada kejauhan

tak terangkul mimpi siapa pun

 

di sana, waktu

tak lain sebatang pohon es

dalam tubuhnya membeku tubuh-utuh mereka

yang bertahun-tahun lalu menjadi abu

dan waktu, tetap pada tempatnya,

menyebar akar-akar es berduri

 

di sana, di kepalaku

lalu menyebar ke sekujur tubuh

mengisap darahku

dan menyeruak keluar dari kulit

memancang tubuhku ke tanah

yang perlahan ditinggalkan

cahaya

 

(Jakarta, Oktober 2023)

 

 

 

Seorang Aktivis Setelah Lulus Kuliah

 

ia kembali ke rahim, kali ini terbuat dari uang

dan terlahir kembali dengan sayap dari uang

dan satu kesadaran berbunga di hati kecilnya:

 

terbang dengan uang

adalah adegan sureal paling realis

sebab palu dan arit terlalu berat untuk menerbangkanmu

sebab bintang-bintang tinggal bendera

yang tak menerbangkanmu ke mana pun

 

ia hinggap di awan terendah: tak cukup tinggi

dan ia hinggap di awan yang lebih tinggi: tak cukup tinggi

lalu bunyi segumpal awan bocor

menyentuh kupingnya

membuat satu dugaan berbunga di hati kecilnya

yang memerah di akhir hari yang merah:

 

membangun ulang awan-awan

dari uang

adalah adegan sureal yang mungkin realis

 

(Jakarta, Oktober 2023)

 



Ocehan Sebelum Kau Pergi

 

langit tidak membutuhkan bintang-bintang

untuk menjadi langit

ia hanya langit yang menyedihkan

bagi beberapa orang

dan hanya langit

bagi yang lain

 

sekarang, apa kau masih menunggu

bintang-bintang

untuk mengepakkan sayapmu

untuk meninggalkan rumahmu?

 

toh, bintang-bintang

tak akan menyelamatkanmu

 

tidak semua orang mesti percaya

pada kata-kata pahlawan nasional itu:

bintang-bintang tak pernah menangkapnya

ketika ia terjatuh

dari ketinggian

karena lemparan bot

seorang tentara

 

(Jakarta, Oktober 2023)

 

 


Pelawak

 

aku berbakat menjadi pelawak

kata mama

itulah kenapa mereka menertawakanku

bahkan ketika aku tidak melucu

bahkan ketika dahiku berdarah

 

tidak semua orang sepandai aku

membuat orang lain tertawa

kata mama

itulah kenapa mereka tak pernah meninggalkanku

bahkan ketika aku ingin menyendiri

bahkan ketika aku membenturkan dahi ke dinding

 

“apa kau pernah lihat papa

membuat orang lain tertawa?

ia hanya pandai membuat mama menangis.

itulah kenapa kau istimewa.”

 

aku berbakat menjadi pelawak

dan aku boleh berbangga

 

tawa adalah mata uang

kata mama

dan aku tak perlu bekerja

untuk menghasilkan tawa

 

kalau kupikir baik-baik

dari perkataan mereka

inilah hal-hal yang membuatku berbakat

menjadi pelawak:

 

1) mata yang juling

2) bibir yang sumbing

3) nilai pelajaran yang semakin rendah

dan semakin rendah

seolah dari bukit habis terguling

 

aku hebat karena aku pelawak

tapi

saat menonton para pelawak di tv

aku sadar ada satu lagi mata uang

yang kurang: tepuk tangan

 

aku harus belajar lebih banyak

untuk membuat mereka

bertepuk tangan padaku

selain tertawa

 

(Jakarta, Oktober 2023)

 


 

Nama Belakang

 

pisau berlapis emas

menancap di punggung

nama depanku: titik-titik darah

mengarah ke mana pun ia melangkah.

 

sekali waktu kubawa nama depanku ke rumah

sakit, dan dokter berkata, “terlalu susah

untuk melepasnya. terlalu berisiko.”

 

belasan tahun nama depanku

terus meringis terus menangis

karena pisau menancap

dan di ulang tahun kami yang ke-17

nama depanku berkata:

 

“lepaskanlah. apa pun risikonya.”

 

aku menurut

dan mudah saja

kubuang pisau itu ke tong sampah

di sudut kamar.

 

tapi, darah mengucur deras

dari lubang di punggung

nama depanku.

 

“tidurlah,” katanya.

“tubuhku jauh lebih ringan sekarang.”

 

kami pun tidur berpelukan, aku dan nama depanku.

kasur cepat menyerap darah tapi kami tak peduli.

beberapa jam kemudian: kami terbangun,

 

kami mengambang di permukaan kolam darah

yang menenggelamkan seisi kamar.

 

karena jendela dalam jangkauan kaki

aku menendangnya hingga pecah

dan aku

dan nama depanku

dan isi-isian kamarku

terhanyut keluar

terhanyut terpencar.

 

itulah hari terakhirku

melihat nama depanku, nama asliku

dan pisau belapis emasku.

 

(Jakarta, Oktober 2023)

 

 


Nama Belakang, 2

 

nama belakang, gelas kaca

berisi nyawaku

yang hantu-hantu leluhur letakkan

di punggungku

sejak aku hendak belajar berjalan

 

(Jakarta, Oktober 2023)




*) Puisi-puisi ini dimuat di Ngewiyak.com pada 18 April 2025.