Minggu, 09 Oktober 2016

MALAM TIADA HENTI -- Sebuah Prosa

Tibalah hari ketika matahari tiada tampak dalam jangka waktu yang teramat panjang. Bola cahaya itu tiadalah bersembunyi di balik kulit mega-mega, maupun di balik selaput cakrawala malam kelam—tetapi kekelaman itulah yang sesungguhnya sedang abadi, sebagaimana malam yang hendak mencelakai Bumi. Di manakah sang mentari bersembunyi?
            
Seorang pria—penduduk desa—yakin bahwa matahari dicuri oleh seseorang. Seorang gadis yang terbungkus dalam sebuah kandang kumuh nan suram, beraroma tengik—mengundang muntah. Bisakah gadis “miring” itu berlaku sedemikian kejam? (Bukankah warga desa juga memperlakukannya sedemikian kejam?)
            
Kembalikan matahari! hardik si pria pada suatu malam yang sepi, kepada gadis yang “miring” itu. Kau akan mencelakai dunia!
            
Yang “miring” pun tersenyum miring, lantas tertawa terbahak-bahak dalam rangka merayakan kemenangan serta kewarasannya.
            
Kalimat-kalimat jadilah pedang; jadilah anak-anak panah; jadilah bom. Berperang! Hingga akhirnya yang “miring” mengacak-acak tumpukan feses—produknya—di sudut kandangnya. Lantas tergenggamlah sebuah bola oranye seukuran kepalan tangan. Ini matahari, ucap si gadis “miring” kepada si pria “lurus”. Lemparkanlah bola ini ke angkasa, maka kau akan melihat hasilnya.

            
Kemudian si pria “lurus”, penuh keraguan, melemparkan bola itu ke angkasa, hanya saja tak terjadi apa-apa. Ia ditipu! Ia murka! Tetapi ia tak pernah tahu bahwa matahari habis dimakan oleh para malaikat.



*) Prosa ini dimuat di Bali Post pada tanggal 9 Oktober 2016.

Tidak ada komentar :