Sabtu, 04 Januari 2020

KEMARI, KUBISIKI KAU PERIHAL CARA MENGENANGKU -- dan puisi-puisi lainnya

*Sumber Gambar: Pinterest





Kemari, Kubisiki Kau Perihal Cara Mengenangku

aku bukan jalan tak ada ujung
bukan jalan sekadar gelap
yang bisa kauselidiki dengan mata
sepeka kucing

aku bukan ide tak ada akhir
yang bisa kautemukan dengan puisi
pun dalam puisi
bukan pula ide sesuka hati

jangan kautanya padaku!

pun aku tak menemu bayang
diri di kulit danau jernih
tak menemu bayang
diri yang dicipta api
tak menemu tubuh
diri di foto keluarga kecil
—sedang namaku tercantum
jelas di sebelah sini

mungkin aku ikan mati
di lambung predator
kekenyangan

mungkin aku bintang
di atas kota malam
berpolusi cahaya

mungkin aku komposisi puitik
di mata orang
tak bisa baca

mungkin aku …

(Jakarta, Januari 2019)



Nasib Sebuah Puisi Modern di Sebuah Tempat yang Dekaden

dengan tubuh penuh ludah hinaan
puisi itu marah sekaligus sedih
membanting diri ke lantai
pecah terserak seperti bulan kaca
tergelincir dari langit
sebab kini ia sadar
orang-orang hanya mencari
hangan tubuh kekasih
asin air mata
anyir darah kotor
dengan sobekan halaman kitab suci
koran maupun buku motivasi
dari tubuh seksinya
sedang bukan demikian
takdirnya ketika dikeluarkan
dari luka-bernanah
seorang penyair
yang remuk sekujur badan
tergencet pemahaman

(Jakarta, Januari 2019)



Malam Penjemputan

dibangunkan dingin bilah sabit pada dada,
ditahannya jerit agar degup jantung malam
tetap pelan, digerakkan tubuhnya perlahan
agar tak menyenggol-pecah udara yang terbuat
dari kaca, diciumnya kening anak dan istri
setenang keluar-masuk napas mereka,
ditinggalkannya rumah dengan langkah
terlampau ringan, dirasakannya udara dingin
menyeret ia kembali ke bawah selimut.

“pakailah ini.”

ia pun mengenakan jubah hitam
malaikat itu, dijalari tubuhnya dengan
hangat kematian, dan ia merasa akan
segera tidur senyenyak tadi.

(Jakarta, Januari 2019)



Penguasa Sebuah Dunia

1/

matahari memasuki lubang hidung saat ia menghela napas. kehidupan di dalam tubuhnya pun kembali berjalan normal: sawah-sawah dapat menjadi sekering luka lama, para ayah dapat menjadi pupuk di sana setelah mati kepanasan, para ibu dapat menunggu laut menjadi garam buat mempersedap kesedihan yang mereka lahap sehari-hari, anak-anak dapat memasuki hutan untuk bermain, mumpung hari tak lagi gelap dan menyesatkan, tanpa tahu bahwa para predator sedang giat mencari mangsa.

2/

doa para manusia melesat dari lubang hidung saat ia mengembus napas. doa-doa itu tak pernah mencapai rumah tuhan yang diyakini berada di langit di balik kulit ubun-ubunnya. doa-doa itu hanyalah daun-daun yang gugur namun tak pernah mencapai tanah, apalagi menjadi pupuk yang menyenangkan pohon tempat tinggalnya.

3/

di hela napas selanjutnya, tak ada yang tahu apa lagikah yang memasuki lubang hidungnya, apa lagikah yang akan melengkapi kehidupan di dalam tubuhnya.

(Jakarta, Januari 2019)



Api di Bawah Perut

laki asing yang menanam api
di bawah perutmu itu, istriku,
biarlah membusuk dan tertanam
sebagai pupuk di bawah pohon

pernikahan kita. biar menguat
pohon itu, bertumbuh dengan ceria,
menghasilkan berbagai buah
semerah api, lagi semanis

darah laki asing yang tumpah
di bawah kakiku ini. api di bawah
perutmu itu, istriku, tak perlu
kaubiarkan membakar

tubuhmu, meski hujan
yang kubawa ke bawah perutmu
tak mungkin bisa memadamkan
api nista tersebut.

(Jakarta, Januari 2019)



Bayang-Bayang di Langit-Langit Kamar

bayang-bayang yang semula hanya bersemadi di langit-langit kamarnya itu kini mulai menetes pelan-pelan memasuki nganga mulutnya hingga hitamlah seluruh darah di tubuhnya telentang-telanjang di kasur hingga tergerak kedua tangannya menggapai mercusuar pemancar cahaya-ingatan tentang bagaimana ia menyusu pada ibu bagaimana ia tidur di pelukan ibu bagaimana ia dicium-cium oleh ibu hingga tubuh mercusuar itu bergetar-getar hebat seperti hendak menembakkan lendir ke langit-langit buat membersihkan bayang-bayang yang tahu-tahu telah membanjiri sekujur kamar plus menenggelamkan ia tanpa diketahui ibu dan ayah yang lantun desah keduanya mencapai kamar tersebut

(Jakarta, Januari 2019)



Lelaki Tua dan Bach di Sebuah Kamar

air tumpah dari corong gramofonnya.
lelaki tua yang menguning di kamar itu
mulai merasa nyaman, bach membersihkan
angka-angka nol berserakan di lantai,
dinding, langit-langit, kasur, apa pun itu
termasuk tubuhnya, kecuali kaca jendela
sejernih kehilangan mencupang dadanya.

lelaki tua itu bangkit dari kasur,
melangkah ke jendela tanpa takut,
memandangi barisan pasukan nazi
menginjak genangan darah itu sama
seperti yang mengalir dalam tubuhnya.

dari arah belakang, lelaki tua mendengar
suara pintu kamar didobrak. air masih
bertumpahan dari corong gramofon,
seperti darah dari lubang-lubang peluru
di tubuh itu.

(Jakarta, Januari 2019)



Puisi-puisi ini dimuat di Nyimpang.com pada 22 Desember 2019.

Tidak ada komentar :