Senin, 25 November 2024

SPA, KONTEN, DAN PERAMPOKAN -- Sebuah Cerpen

 
*Sumber Gambar: Solopos



Luxy Spa & Massage; ruang tunggu itu berwarna dominan krem dan beraroma lavender dan dipenuhi musik instrumental tenang. Di sofa panjang: Lea sedang mengatur posisi ponselnya di kepala monopod sebelum membuat vlog; Abeng sedang mengatur napasnya sebelum merampok.

Masker wajah Abeng basah oleh keringat dingin; kamera CCTV menatapnya tajam. Jendela menampakkan matahari kemerahan di langit barat, gumpalan awan yang lewat menyembunyikannya. Abeng pura-pura terbatuk agar tampak beralasan untuk terus bermasker. Pisau lipat di saku jinnya perlahan memanas.

“Hai, Leanicious!” Lea melambai ke kamera depan ponsel dan menjelaskan di mana ia berada dan lain-lain. Ada satu hal yang tak ia ucapkan: ia akan membuat konten prank.

ODE UNTUK KATA-KATA KASAR; dan Puisi-Puisi Lainnya

 


*Sumber Gambar:
Angel of Death (Horace Vernet), dari WikiArt.org.




Ode untuk Kata-Kata Kasar

 

terima kasih kepada kata-kata kasar

yang tak mungkin kusebutkan satu pun di sini

yang tangan halusnya menyelamatkan

kepala atasan dari bogemku

kepala bawahan dari sol sepatuku

kepala teman dan keluarga dari pelorku

dan tangan lembut kata-kata itu

penuh kesabaran menggandengku

menjauh dari gerbang penjara

pun gerbang neraka

 

PEREMPUAN DI VIDEO YANG SEMPAT VIRAL -- Sebuah Cerpen

*Sumber Gambar:




Dara hanya perlu bersikap tenang di meja makan ini, di hadapan keluarga Adam, sambil menyantap steik, dan menjawab pertanyaan kedua calon mertua soal seluk-beluk seorang pustakawan. Tapi, tatapan Birawan dari sisi seberang meja terus mengulitinya. Tatapan itu terlalu familiar, serupa tatapan dari banyak pria yang mengulitinya sejak lima tahun lalu—terutama lima tahun lalu—di mana pun perempuan itu berada. Ia berusaha tak peduli.

“Apa kita pernah bertemu?” tanya Birawan akhirnya.

Sisi kiri lidah Dara tergigit. Keringat dingin menuruni lehernya. Anyir darah segera bercampur dengan potongan steik di mulut. Di samping perempuan itu, Adam menatapnya bertanya-tanya; di hadapannya, kedua calon mertua menatapnya bertanya-tanya—dan di samping Calon Ayah Mertua, Birawan menatap Dara curiga, seraya membetulkan letak kaca mata yang berlensa tebal.

Tubuh tambun Birawan mengeluarkan bau kaus kaki berkeringat. Pipi kirinya bopeng dan berminyak, pipi kanannya tertutup sempurna oleh keloid luka bakar. Dara mual memikirkan bagaimana pria itu—pasti pernah—membayangkan menyentuhnya.

“Mungkin Kakak melihatnya di perpustakaan?” kata Adam.

“Aku tidak pernah ke perpustakaan pacarmu,” balas Birawan.

Hening sejenak, sampai Calon Ibu Mertua mengingatkan mereka untuk lanjut menyantap steik. Birawan mengatakan ia harus menjawab panggilan dari atasan—meski ponselnya tak berdering—dan tatapan Dara, diam-diam, mengikuti calon kakak iparnya ke balik bar dapur. Birawan mengeluarkan ponsel dari saku, menahan tombol untuk menurunkan volume suara, sebelum memerhatikan layar ponsel dengan dahi mengernyit. Sesaat kemudian, ia menatap lekat wajah Dara. Tatapan itu terlalu familiar, serupa tatapan dari banyak pria yang mengulitinya sejak lima tahun lalu—terutama lima tahun lalu—di mana pun perempuan itu berada.

 

***

 

Kau perempuan di video itu.

Ponsel terlepas dari tangan Dara, jatuh ke lantai. Pesan WhatsApp itu dikirim oleh nomor tak dikenal. Suatu gumpalan menyekat jalur napasnya mendadak. Tubuhnya gemetar, jatuh ke kasur, air matanya meleleh—jeritan tertahan di pangkal lidah.

Ponselnya berdering. Semenit. Dua menit. Dara tak sanggup bergerak. Ponsel berhenti berdering.

Dan terdengar pesan WhatsApp masuk.

Ketika Dara berhasil mengendalikan diri, ia mengambil ponselnya dari lantai. Nomor tak dikenal itu mengirim sebuah foto. Tangkapan layar dari sebuah video. Seorang perempuan, telanjang, terbaring di ranjang, dengan kain hitam membelit matanya, tali kabel membelit kedua tangannya di sandaran tempat tidur bermodel jeruji.

Dara menjerit dan membanting ponsel.

 

***

 

Dara tahu-tahu berada di sebuah kafe, tempat pertemuan pertamanya dengan Adam enam bulan lalu. Adam tak tampak di mana pun. Para Dara-yang-lain duduk di setiap meja, di sekelilingnya, dalam rangkulan pria-pria berbeda.

Mereka semua kompak berciuman.

Tiba-tiba Adam sudah duduk di depannya, menangis, menampar-nampar diri sendiri. Hentikan, pekik Dara. Adam terus menampar diri sendiri. Perempuan itu hendak menghentikannya, tapi tangannya terikat tali kabel ke lengan kursi.

 

***

 

Pergelangan Dara kembali berdenyut-denyut. Dengus napas lelaki itu kembali terdengar: awalnya hanya di dalam kepala, lama-lama seperti berasal dari antara rak-rak buku. Tak ada seorang pengunjung pun pagi ini. Dara berlari ke toilet dan muntah di wastafel. Wastafel mungkin akan mampet lagi, tapi masa bodoh.

Begitu ia keluar dari toilet, seorang pria telah berdiri di hadapan meja pustakawan yang kosong. Pengunjung pertama. Jantung Dara tercelos. Suatu gumpalan kembali menyekat jalur napas. Pria itu menoleh ke arahnya.

“Bisa bicara sebentar?” Suara Birawan bergetar.

Dara memaksakan senyum dan setenang mungkin kembali ke meja pustakawan. “Buku apa yang kau cari?”

“Perpustakaan selalu sepi, eh?” Birawan menoleh ke sekeliling, menyeka lensa kaca mata dengan ujung kemeja. Bau tubuhnya menyentak tenggorokan.

Satu hal yang paling Dara suka dari perpustakaan provinsi adalah jarangnya ada pengunjung. Jarangnya ada yang menemuinya. Jarangnya ada yang, kemungkinan, pernah melihat wajahnya—berbeda dengan di kafe dulu. Semakin sedikit orang yang suka membaca, semakin bagus.

“Maaf jika kedatanganku mengejutkanmu,” lanjut Birawan. Dari gemetar suaranya, ia tak siap untuk membicarakan topiknya. “Omong-omong, kenapa kau tidak membalas pesanku? Atau menjawab panggilanku?”

Mata Dara menghangat. Ia tak boleh menangis. Tangisan hanya membenarkan tebakan calon kakak iparnya. Dara hanya perlu bersikap tenang di meja pustakawan ini, di hadapan Birawan.

“Ponselku jatuh di tangga.” Dara mengeluarkan ponsel dari saku. Layarnya retak. “Lihat, aku tidak bisa menyalakannya. Akan kubawa ke tukang servis.”

Birawan menelan ludah. “Aku belum bilang apa pun ke adik atau orang tuaku. Tapi … boleh kita bicara sebentar?”

Dara mengangguk.

Dara telanjur mengangguk.

Kenapa ia harus telanjur mengangguk?

Birawan melangkah ke rak-rak buku. Dara mengikutinya, seperti melangkah di dasar sungai, melawan arus. Denyut di pergelangannya semakin menusuk. Rak buku setinggi dua ratus sentimeter di kedua sisinya semakin mengimpit dan mengimpit, bayangannya mengubur mereka berdua. Pria itu pun berhenti dalam apitan dua rak paling ujung, rak kategori teknologi dan budaya, dan terbatuk singkat.

“Aku tahu ini salah.” Birawan memijat-mijat jembatan hidung. “Tapi, aku hanya ingin merasa dicintai—sekali saja. Setelah itu, lupakan.

Pola kalimat itu familiar.

Tatapan Birawan tertuju ke barisan buku terbawah di rak budaya. “Aku tak setampan Adam. Adam sudah enam kali berpacaran—termasuk denganmu—sedangkan aku tak pernah. Tidak ada yang suka dengan pipi kananku, bukan begitu? Satu kesalahan di masa lalu, dan tak ada yang menyukai pipi kananku selamanya.” Ia menyedot ingus. “Selain itu, Ayah memilih Adam untuk memimpin perusahaan—dan bukan aku. Aku tak pernah dapat kesempatan untuk apa pun.”

Salah satu kamera pengawas berada di sudut langit-langit terdekat, menatap mereka. Dara tak bisa menampar Birawan. Dengus napas itu pun terdengar lagi. Semakin keras dan semakin keras. Setiap buku di sekelilingnya bernapas, hidup, memerhatikannya.

“Besok malam Adam dan kedua orang tuaku pergi,” lanjut Birawan. “Dan, aku bisa menyuruh pembantu kami pergi beberapa jenak.

Air mata Dara menetes. Ia langsung berbalik meninggalkan Birawan dengan langkah-langkah cepat, seolah lorong rak buku terus menyempit, hendak meremukkannya. Ia hampir terjatuh karena hak tinggi—tapi ia terus melangkah cepat. Ketika Dara lolos dari himpitan rak buku, tampak sepasang mahasiswa-mahasiswi berdiri bergandengan di depan mejanya.

“Hai, bisa bantu kami?” tanya si Mahasiswi. Ada cupang di lehernya.

 

***

 

Jalan termudah adalah meninggalkan Adam dan mencari pacar baru yang tak satu pun anggota keluarganya pernah melihat video itu. Tapi, tak ada jalan mudah dengan janin di rahim, dengan janji sang pacar untuk bertanggung jawab dalam waktu dekat—minimal hingga kedua orang tuanya benar-benar mengenal Dara.

Dara menekan tombol bel di samping gerbang. Sekitar lima menit kemudian, pintu beranda terbuka. Wajah Birawan pucat terkena cahaya lampu beranda. Tak tampak seorang tetangga pun di luar rumah.

“Kau belum memberi tahu mereka, bukan …?” tanya Dara.

 

***

 

Birawan menggandengnya ke kamar. Di samping ranjang, rak buku menutup satu sisi dinding, hampir menyentuh langit-langit. Dara familiar dengan beberapa punggung buku, semisal Kuasai Jalan Hidupmu. Birawan melepas gandengan dan menyalakan pendingin ruangan dan duduk di tepi kasur, keloid di pipi kanannya memantulkan cahaya, bau tubuhnya memenuhi ruangan. Di meja belajar: selembar masker penutup mata dan sebungkus tali kabel.

“Kau tidak perlu memakainya, jika keberatan.” Suara Birawan gemetar seperti kemarin.

Dara menatap wajah pucatnya di cermin. Sudah bertahun-tahun ia menolak cermin, sudah bertahun-tahun ia ingin menyayat wajah sendiri. Lekuk tubuhnya masih hampir sama seperti lima tahun lalu. Seperti di video. Seperti bentuk yang menguasai kepala banyak pria.

Ia tak ingin kabur lagi.

“Aku bersedia.”

Birawan menelan ludah. Dara mengambil masker penutup mata dan dua helai tali kabel. Ia tersenyum seraya menggigit bibir bawah—senyum yang pernah ia latih tanpa lelah. Birawan sekali lagi menelan ludah, dan Dara melepas kaca mata berlensa tebalnya—lantas memakaikan masker ke mata sang pria.

“Kenapa mataku …?” tanya Birawan.

“Sedikit variasi pasti lebih seru. Aku berpengalaman.”

Birawan cepat-cepat melepas pakaian, meletakkan kepala di bantal, merentangkan tangan. Ini pasti hari terindahnya. Dara mengikatkan kedua tangan pria itu ke sandaran tempat tidur bermodel jeruji seraya berbisik, “Nanti, usahakan sedikit melawan.”

“Terima kasih.” Birawan hampir menangis terharu.

Persiapan selesai. Tanpa suara, Dara melangkah ke rak buku. Ia tak bisa dibodoh-bodohi untuk kali kedua. Di antara buku Kuasai Jalan Hidupmu dan Menjadi Raja dalam Sehari, terdapat celah selebar setengah jengkal. Dalam keremangan celah, sebuah ponsel bersandar ke dinding dalam rak, kameranya mengarah ke tempat tidur. Dara sudah melihatnya dari awal. Pelan-pelan, ia mengeluarkan ponsel itu.

“Apa yang kita tunggu?” tanya Birawan.

Ponsel itu sedang merekam, kini memasuki menit keempat belas. Pasti rekaman dimulai sejak Dara menekan bel.

“Aku akan membuka pintu,” kata Dara. “Rasanya akan lebih menantang dan seksi.”

“Baik.”

Dara menghentikan dan menghapus rekaman, membuka Instagram Birawan, menggeser layar ke kanan. Live. Ia memastikan wajahnya tak tertangkap kamera, dan memberdirikan ponsel dengan menyandarkannya ke buku, kamera mengarah ke tempat tidur.

Dara membuka pintu kamar. Dan ia keluar.

 

***

 

Begitu Dara membuka pintu beranda, para Dara-yang-lain sudah menunggu di luar, menghadap ke arahnya. Mereka berjumlah belasan. Puluhan. Ratusan. Mereka memenuhi beranda. Memenuhi halaman. Memenuhi area di balik gerbang. Mau apa mereka? Ketika Dara melangkah meninggalkan ruangan, para Dara-yang-lain berbondong masuk, membuatnya berkali-kali terdorong kembali ke ruang dalam.




*) Cerpen ini dimuat di Janang.id pada 21 Oktober 2024.

Kamis, 14 November 2024

MUNGKIN MAMA MEMBUANGKU HARI INI -- Sebuah Cerpen


*Sumber Ilustrasi: Kalam Sastra




Mungkin Mama membuangku hari ini. Mungkin itu alasan kenapa ia mengajakku ke pasar yang sangat jauh dari rumah, dan selama di boncengannya aku berhitung sampai delapan ribu empat ratus tiga puluh enam sebelum motor tiba di area parkir; mungkin itu alasan kenapa ia mengajakku ke pasar yang belum pernah kudatangi, dan ia telah meninggalkanku berdiri di depan kios daging selama lebih dari tiga ribu enam ratus enam puluh dua detik. Ya, aku bilang lebih dari: aku gagal berhitung lebih lanjut sebab di sini terlalu berisik: si Penjual Daging terus memotong-motong daging di atas meja keramik berlumur darah dan tok tok tok dan ia tak berhenti bicara cepat pada para pembeli yang datang dan bla bla bla dan orang-orang berlalu lalang di jalan becek depan kios dan clak clak clak dan aku harus menyumpal telinga dengan jempol sebab keributan membuat ubun-ubunku hendak meledak!

Mungkin juga Mama tak membuangku hari ini. Mungkin, seperti kata Papa, aku hanya berpikir-terlalu-jauh karena terlalu sering menonton film, dan suatu hari aku menonton film tentang seorang gadis kecil yang dibuang ibunya, dan adegan di film itu seperti ini: Sang ibu mengajak si Gadis Kecil ke pantai yang sepi, dan menyuruhnya menunggu sejenak di tepi pantai karena ia hendak ke toilet, tapi sang ibu tak kunjung kembali dari toilet hingga matahari hampir terbenam, gadis kecil itu pun menangis karena tersadar dirinya dibuang—dan tadi Mama bilang ia hendak ke toilet. Aku menonton film itu di komputer Papa sambil menyusun potongan-potongan puzzle bergambar Pippi si Kaus Kaki Panjang dan memakan semangkuk es krim vanila dan mulai menyuap es krim dengan potongan puzzle ketika sang gadis kecil menangis.

Tapi mungkin Mama memang membuangku hari ini. Kemarin malam, di ruang makan, saat Papa menyeruput sup dan Mama meletakkan nasi ke piringku, aku berkata bahwa besok aku tak ingin sekolah dan hanya ingin menonton film di komputer dan Papa menamparku. “Kau sudah bodoh, dan kau akan semakin bodoh tanpa sekolah,” kata Papa, suaranya bergetar, bibir bawahnya bergetar, dan tanganku jadi bergetar—aku tak suka disebut bodoh, dan aku mendorong Papa hingga terjungkal dari kursi dan kepalanya menghantam tepi kabinet dapur dan Mama mungkin membuangku hari ini.

Kios daging mulai sepi, terik meruapkan bau amis memualkan dari jalan yang becek. Si Penjual Daging mengelap mata pisau besar dengan gombal, lalu menyulut sebatang rokok, dan tiap ia mengembuskan asap, sebagian asap terperangkap di kumis lebatnya dan tampak seperti kabut yang merayap di antara rerumputan, sebelum akhirnya terbebas ke udara lepas.

Sementara itu, kios sayur di seberang sedang diserbu para pembeli, sebagian besar adalah ibu-ibu dengan daster menempel ke punggung karena keringat dan menampakkan tali bra mereka. Jika aku mendekat, bau keringat mereka pasti tercium seperti mayones basi.

“Di mana orang tuamu?” tanya si Penjual Daging, tahu-tahu sudah berdiri di sampingku, celemek cokelatnya terciprat darah di puluhan titik. “Kutebak kau kelas 6 SD atau 1 SMP …?”

Aku tidak menjawab sebab aku tidak mau diculik. Mama bilang sebaiknya aku tidak berbicara pada pria berwajah seram—apalagi sampai membiarkan diriku disentuh—sebab bisa-bisa aku diculik, dan si Penjual Daging tampak sangat cocok menjadi seorang penculik: matanya lebar dan seram, telapak tangannya lebar dan seram, tubuhnya jangkung dan seram. Karena aku tidak menjawab, ia mendekat selangkah dan mengulangi pertanyaannya. Aku pun menahan napas, jantungku berdentum-dentum—aku harus mengalihkan pikiran agar tak menjerit, mungkin aku harus berhitung—tapi untung datang seorang pelanggan yang membuat Si Penjual Daging kembali ke balik meja keramik, menghadap potongan-potongan daging, dan tok tok tok bla bla bla.

Mama menyuruhku tetap menunggu di sini. Tapi bukankah tak masalah jika aku berpindah sedikit? Misalkan, bagaimana jika aku menunggu di kios sayur di seberang sana? Si Penjual Sayur tampak ramah: ia wanita dan ia berjilbab dan seorang wanita berjilbab jelas tidak seperti penculik, dan aku akan menjawab apa pun yang ia tanyakan.

“Di mana rumahmu?” tanya si Penjual Daging, tahu-tahu sudah di sampingku lagi, suaranya agak tak jelas karena rokok terselip di bibirnya. “Atau kau ingat nomor telepon orang tuamu?”

Aku tidak menjawab dan pura-pura tidak mendengarnya dan pura-pura tidak melihatnya: tatapanku terpaku pada si Penjual Sayur yang berkali-kali terhalang para pembeli, yang tak sekali pun menoleh padaku, yang dengan gerak cepat memasukkan sayur-mayur ke kantung plastik dan menyerahkannya ke pembeli dan menerima uang dan memberikan kembalian dan memasukkan sayur-mayur lagi ke kantung plastik dan berulang terus seperti sebelumnya. Si Penjual Daging menarik sebuah kursi plastik dan duduk, lalu ia menarik kursi plastik kedua dan meletakkanya di sampingku dan menyuruhku duduk. Penculik selalu menawarkan permen, bukannya kursi plastik, jadi aku pun duduk.

“Apa orang tuamu menyuruh kau menunggu di sini, tapi tak kunjung kembali?” tanya si Penjual Daging lagi.

Aku tetap pura-pura tidak mendengarnya dan melihat sekeliling; orang-orang terus berlewatan, lumpur terciprat ke ujung kakiku, ketiak dan selangkanganku lengket oleh keringat, dan Mama tak tampak di mana pun.

Apa Mama benar-benar membuangku? Kemarin malam, setelah aku mendorong Papa hingga kepalanya menghantam tepi kabinet dapur, ia tak terbangun dan darah menetes ke lantai—tapi tak banyak, demi Tuhan—dan ambulans datang menjemputnya. Papa tidak mati: ambulans yang menjemputnya adalah ambulans untuk orang sakit, dan aku pernah melihat ambulans untuk jenazah, dan Mama tak mungkin membuangku karena aku bukan pembunuh. Lagi pula, Mama mengatakan bahwa kami harus ke pasar ini karena di sini menjual bumbu rendang terenak menurut Papa, dan Mama hendak memasakkan Papa rendang sebelum kami menjenguknya di rumah sakit—dan mungkin Mama membuangku karena aku anak nakal dan tak berhak mencicipi rendang buatannya.

Tahu-tahu si Penjual Daging menyentuh pundakku dan berkata, “Hei, kau dengar aku?” dan sentuhan orang asing membuat banyak titik dalam tubuhku meledak dan aku menjerit dan aku berlari memasuki kiosnya dan dari meja keramik di mana tergeletak potongan-potongan daging kuambil sebilah pisau besar dan kutodongkan pada si Penjual Daging saat ia mendekat dan aku menyalak seperti anjing galak.

“Hei, hei, tenang!” si Penjual Daging memekik, mundur perlahan hingga melewati jalur pintu bergulir. Di belakangnya orang-orang berkumpul, beberapa mengeluarkan ponsel dan mulai merekamku, dan aku tidak suka kamera mengarah padaku, dan aku pernah membanting kamera seorang fotografer saat murid-murid difoto di sekolah untuk membuat foto rapor. Tepatnya, aku tak suka orang lain memandangi wajahku, dan dengan difoto atau direkam orang lain bisa memandangi wajahku tanpa aku sadari—dan membayangkan hal itu membuatku seketika mual.

Dan, terdengar tangis seorang bocah. Aku baru sadar bahwa, dua langkah di sampingku, duduklah seorang bocah perempuan di lantai, memeluk boneka beruang yang bagian tengah perutnya robek dan menampakkan serat kapas di dalamnya. Dari luar kios tadi, aku tak melihat sang bocah, ia terhalang kotak-kotak gabus di kolong meja keramik.

“Jangan sentuh dia,” kata si Penjual Daging, suaranya gemetar.

Di seberang kios daging, si Penjual Sayur mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang. Ia pasti menelepon polisi dan di sebuah film para polisi menyiksa seorang tahanan dan aku melempar pisau ke arah si Penjual Sayur—dan orang-orang lain refleks menghindar: ponsel si Penjual Sayur pun terjatuh dan ia menjerit kesakitan dan tangannya berdarah—tapi tak banyak, demi Tuhan!

“Tahan tangannya!” pekik seseorang dan si Penjual Daging berlari ke arahku dan dengan tangan kanan aku cepat-cepat menyambar pisau lain dari meja keramik dan menempelkannya ke leher si Bocah Perempuan. Si Penjual Daging refleks berhenti; tangis sang bocah semakin nyaring. Agar lebih seram, tangan kiriku menjambak rambut bocah itu, dan si Penjual Daging mundur perlahan ke titik semula, dan orang-orang di belakangnya meneriakiku.

Saat itulah aku melihat, di belakang salah seorang perekam, Mama datang dari arah perginya ia. Matanya sembap seperti habis menangis karena mengurusi kenakalanku, dan ia menoleh ke sekeliling dengan heran, sebelum tatapannya mengikuti arah kamera si Perekam, dan ia terbelalak: pasti aku telah melakukan hal nakal.

Setidaknya, Mama tak membuangku hari ini.

Tapi, sebelum aku memanggilnya, Mama berlari menjauh. Aku menjerit dan melepaskan pisau berikut si Bocah Perempuan dan aku berlari mengejar Mama, tapi si Penjual Daging menjegal kakiku hingga wajahku menghantam lantai kios, dan entah berapa pasang tangan menahan punggung dan tangan dan kaki dan belakang kepalaku, persis yang dilakukan para murid perundung di sekolah lamaku, di halaman belakang, tiap jam pulang sekolah jika Mama atau Papa terlambat menjemputku. Hidungku memanas dan hendak patah terhimpit ke lantai. Aku tidak bisa bernapas. Aku mengerang dan mataku basah dan aku berusaha menoleh ke arah perginya Mama: ia berdiri di kejauhan, terhalang orang-orang, menoleh ke arahku dan menutup mulut dengan telapak tangan, menangis, lantas pergi dan segera tak lagi terlihat.

“Kau apakan anakku, hah?!” jerit si Penjual Daging, menendang samping perutku. “Kau apakan anakku?!”

Apa yang harus kulakukan sekarang adalah tenang. Bu Guru bilang, jika situasi membuatku tak nyaman, aku harus mengatur napas agar tenang, meski mengatur napas dalam situasi terjepit sama sekali tak mudah. Tapi aku harus tenang. Toh, setelah kupikir-pikir, Mama tak mungkin membuangku hari ini. Aku baru membuat orang lain berdarah sebanyak dua kali: Papa dan si Penjual Sayur. Dan Mama selalu bilang, jika aku melakukan kenakalan yang sama sebanyak tiga kali, ia akan marah besar padaku. Jadi, karena ini baru dua kali, Mama tidak mungkin marah besar padaku hari ini, tidak mungkin membuangku hari ini, terlebih minggu lalu aku mendapat nilai tujuh puluh untuk ulangan budi pekerti.




*) Cerpen ini dimuat di Kalam Sastra pada 6 Oktober 2024.