Selasa, 16 Mei 2017

ACHEMAR

Achemar

cermin hanyalah sebatang jarum penghubung
lazuardi dengan mata seorang pria yang
terperangkap di sebuah rumah makan. musik
jazz adalah jas hitamnya yang menyimpan
seekor belatung di bagian saku. pria itu
melamun seperti hendak menjelma pagi di
atasnya, sementara si pelayan rumah makan
bertanya, “anda ingin mati tanggal berapa,
tuan?” kepadanya yang lantas menjawab
dengan keheningan musim kemarau.


Permainan Anak-anak

aku mengutukmu sebab temaram matamu.
segala yang redup membelenggu riak
darahku. di kulit leherku ada nama dari
setiap embus napasmu, ada seluruh mantra
yang terkikis pada tiap lenguhmu kepada
purnama. di kemudian hari, kita sama-sama
menyulut ribuan kitab yang tak lagi suci.

kita menamatkan permainan anak-anak
lalu menyombongkan diri sebagai raja
dan ratu. belakangan, seorang anak yang
kalah menduduki bayang-bayang kursi
yang perlahan jadi nyata. dan kita masih
terperangkap dalam permainan anak-anak:
kita tak lagi saling mengenal, tak lagi
memuja bayang-bayang dan logika.

debur keringat di lehermu memandikan
luka sayat di kedua pahaku; jeram liurmu
menggerayangi luka tembak di mata
kiriku; desis air matamu padamkan luka
bakar di sekujur punggungku. dan kita
akan melanjutkan permainan anak-anak itu.


Sajak di Dalam Pesawat

bocah kecil yang duduk di sampingku
masihlah tertawa. pun ibunya.
mereka tak tahu
bahwa sebentar lagi pesawat ini
akan
jatuh.
mungkin meledak terlebih dahulu.

dan mereka hanya tidak tahu.
barangkali tidak mau tahu,
sebab ketidaktahuan begitu sederhana

dan membahagiakan.

Denpasar, 2016


*) Puisi-puisi ini pernah dimuat di Nusantaranews.co pada tanggal 7 Mei 2017.

Tidak ada komentar :