Selasa, 08 September 2020

SEBELUM MENCICIPI KEMATIAN -- Sebuah Cerpen

Sebelum Mencicipi Kematian

*Sumber Gambar: kurungbuka.com




Pemuda X melihat Bumi hancur ditabrak meteor berukuran dua kali planet itu. Setelahnya, semua gelap total, sebelum muncul tulisan “14 Februari 2XXX” di tengah kegelapan, entah apa maksudnya. Kemudian Pemuda X terjaga, merapikan tempat tidur, mandi, dan duduk di meja makan bersama Pemuda Y, kawan seapartemen yang pastinya telah lebih dulu bangun. Pemuda X menceritakan isi mimpinya barusan dan, sekonyong-konyong, wajah Pemuda Y memucat, lalu terbata-bata ia membalas, “Aku juga bermimpi seperti itu.” Pemuda X pun turut pucat. Udara di apartemen itu sontak dicemari kegelisahan.

            

Ternyata, di pagi yang sama, 6 Februari 2XXX, Pengusaha B digelisahkan mimpi serupa. Pun Gelandangan C, Filsuf D, Mucikari E, Wartawan F, Wakil Presiden G, Presiden H, dan yang lainnya. Saking banyaknya manusia yang mengalami mimpi serupa di pagi yang sama, dan saking banyaknya manusia yang menyadari bahwa mereka saling memimpikan hal serupa, malam hari di hari yang sama pun saluran-saluran berita hampir di seluruh dunia mengabarkan soal keanehan tersebut.

            

Keesokan siangnya, dengan suatu cara, akhirnya terbukti bahwa memang semua manusia di Bumi—kecuali para bayi dan orang-orang sekarat yang tak bisa berkomunikasi, sehingga tak bisa dimintai keterangan—bermimpi demikian. Mudah ditebak, para manusia pun berpikir: Bumi akan hancur minggu depan, tepat di hari Valentine, dan itu berarti kita harus menyiapkan sesuatu untuk menyambut kematian.

 

***

 

“Bagaimana kabar cita-citamu?” tanya Pemuda X.

            

“Entahlah,” balas Pemuda Y. “Yang jelas tidak mungkin tercapai dalam waktu dekat. Bukankah tidak mungkin ada remaja 19 tahun yang bisa menjadi bos dari sebuah bank besar?”

            

Pemuda X melangkah ke dekat jendela, memandangi langit mendung dan layangan yang lepas di sana. “Kalaupun cita-cita kita bisa tercapai sebelum Bumi hancur, tidak akan ada gunanya, kan?”

            

“Tidak ada gunanya.” Pemuda Y mengembuskan napas, kecewa. “Padahal, ibuku sering berkata bahwa tujuan utama dari hidup kita adalah mencapai cita-cita. Bukankah artinya kita mesti merevisi pemikiran itu sekarang? Apa yang bisa menjadi tujuan utama manusia, jika cita-cita sudah tak mungkin dicapai?”

            

Pemuda X berpikir sejenak. “Memuaskan nafsu?”

            

“Memuaskan nafsu?”

            

“Nafsu terliar, bahkan.”

            

Terjadilah keheningan beberapa jenak, sebelum Pemuda Y benar-benar memahami perkataan itu dan menyetujuinya.

 

***

 

Melalui berbagai media, pada 8 Februari 2XXX, pemerintah setempat mengumumkan soal akan diadakannya Perayaan Perpisaah sekaligus Perayaan Pra-Valentine yang diselenggarakan di setiap taman di kota itu, dari awal 13 Februari 2XXX sampai akhir dari hari, akhir dari Bumi. Pemerintah setempat akan menyediakan makanan, acara hiburan, dan banyak hal menyenangkan lainnya secara gratis, untuk memastikan setiap orang mati bahagia. Lalu ada keterangan tambahan berbunyi, “Perayaan ini pasti akan dilaksanakan, kecuali dalam waktu dekat manusia telah menemukan cara untuk pindah dan hidup di luar Bumi.”

            

Duduk di depan televisi, Pemuda X berkata, “Sebaiknya kita tidak usah hadir. Diam di apartemen yang nyaman ini jauh lebih baik.”

            

Pemuda Y mengerutkan dahi. “Kenapa?”

            

“Bayangkan seandainya bukan hanya kita berdua yang berpikir bahwa ‘memuaskan nafsu’ adalah alternatif dari ‘menggapai cita-cita’. Keributan macam apa yang akan terjadi?”

            

Pemuda Y tertawa kecil membayangkan keributan itu. Lantas ia bertanya, “Apa nafsu terliarmu?”

            

“Mungkin … mungkin, memerkosa mantan kekasihku. Sayangnya, ia sudah mati.”

            

“Kalau aku … mungkin, membunuh orang-orang yang aku benci.”

            

“Pasti menyenangkan, ya,” komentar Pemuda X. “Tapi, rasanya melakukan hal itu sungguh sia-sia sekarang. Memang apa bedanya mati sekarang, besok, atau enam hari lagi? Tak beda jauh, kan? Mungkin kau harus mencari nafsu lain.”

            

Pemuda Y terbahak-bahak.

 

***

 

Pemuda X dan Pemuda Y sedang ngopi di sebuah mall besar di kota itu, ketika Pemuda Y mencetuskan, “Bagaimana kalau kita menghambur-hamburkan seluruh uang kita? Bukankah segala hal dijual di sini?”

            

“Ide yang menarik. Bagaimana kalau kita lakukan sekarang, sebelum orang-orang lain berpikiran serupa, atau sebelum orang-orang lain ‘memuaskan nafsu’ dengan menjarah mall ini?”

 

***

 

Sembari menyimak berita di televisi, pada 12 Februari 2XXX, Pemuda X dan Pemuda Y menyiapkan segala hal untuk bersenang-senang di apartemen mereka sampai Bumi hancur. Tak ketinggalan, atas usul Pemuda X, mereka memasang berbagai pengaman pada pintu dan jendela, karena bisa saja nanti atau besok akan ada orang yang begitu bernafsu menyakiti mereka; pikiran negatif ini muncul berkat diberitakan banyaknya terjadi kejahatan di mana-mana (pasti karena pelampiasan nafsu), sedang para polisi begitu malas bertugas (pasti sebab sibuk melampiaskan nafsu masing-masing). Terlebih, Pemuda X dan Pemuda Y terus-menerus mendengar jerit ketakutan dari apartemen sebelah.

            

Dunia jadi terasa berantakan.

            

Akhirnya, 13 Februari 2XXX. Pemuda X dan Pemuda Y menikmati hidangan terlezat seraya menyaksikan siaran live Perayaan Perpisahan dan Pra-Valentine dari berbagai taman. (Untungnya para pekerja televisi masih mau bekerja menjelang akhir Bumi, tak seperti pekerja-pekerja lainnya yang memutuskan untuk libur.) Tak sesuai dugaan Pemuda X, perayaan itu tampak berjalan secara menyenangkan, tak ada tanda-tanda akan terjadi hal-hal jahat. Orang-orang memang banyak yang saling membenci karena kasus-kasus kejahatan kemarin, tapi hari ini mereka memutuskan untuk tak lagi mengingat-ingat hal tersebut, karena mereka ingin tenang di hari terakhir.

            

Setelah kedua pemuda selesai makan, Pemuda Y berkata, “Aku akan keluar dari apartemen ini. Toh, semua baik-baik saja.”

            

Saat itulah tiba-tiba Pemuda X meninju Pemuda Y hingga tumbang ke lantai. Pemuda Y belum sempat bereaksi apa-apa, ketika Pemuda X membuka paksa celananya. Beberapa serangan lagi Pemuda X berikan saat Pemuda Y mulai mencoba melawan. Hingga akhirnya, celana Pemuda Y sempurna terbuka, tubuhnya tak berdaya—tapi ia belum pingsan—dan Pemuda X membuka celananya sendiri.

            

“Maaf, Kawan. Inilah nafsu terliarku selama ini.”

            

Pemuda X memerkosa Pemuda Y di lantai. Pemuda Y tahu bahwa dirinya tak mungkin diselamatkan orang lain dari siksaan ini.

            

Pemuda Y kemudian pingsan, tepat saat Pemuda X mencapai klimaks.

 

***

 

Pemuda Y masih tergeletak pingsan di lantai saat Pemuda X, melalui televisi, menyaksikan orang-orang mulai menghitung mundur pergantian hari, seolah menantikan tibanya tahun baru.


Hari pun resmi berganti ke 14 Februari 2XXX.


Pemuda Y siuman, bangkit perlahan, dan melangkah tertatih-tatih untuk duduk di sudut ruangan.


“Maafkan aku,” kata Pemuda X, dengan perasaan bersalah. “Tak ada gunanya membalas dendam, kan?”


“Tak ada gunanya ....”

            

Pemuda Y pasrah menunggu tibanya meteor hari ini, begitu pula para korban kejahatan lainnya, begitu pula para pelaku kejahatan lainnya, baik yang didera perasaan berdosa maupun tidak.

 

***

 

Sayangnya, hingga 15 Februari 2XXX, Bumi belumlah hancur. Mungkin meteor itu agak terlambat, pikir orang-orang. Tapi, hingga besok, besok, dan besok, Bumi tak kunjung dihantam meteor. Orang-orang akhirnya berpikir, Jangan-jangan mimpi tetaplah mimpi ....


Pemuda X pun sadar bahwa kini membalas dendam tak akan lagi sia-sia bagi Pemuda Y.

            

“Bukankah Bumi sudah terlalu berantakan untuk tak jadi musnah?” kata Pemuda Y, seraya mendekati Pemuda X yang berdiri menghadap jendela. Tangan Pemuda Y yang memegang pisau tampak bergetar hebat, seperti Bumi yang hendak meledak. 




*) Cerpen ini dimuat di kurungbuka.com pada 9 Agustus 2020.

Tidak ada komentar :