Jumat, 07 Februari 2020

REPORTASE TENTANG SEBUAH PUISI dan Puisi-Puisi Lainnya


*Ilustasi oleh: Surya Gemilang




Reportase tentang Sebuah Puisi

yang terjadi di puisi ini adalah
museum-museum menyelam ke perut tanah
kereta api meluncur keluar dari jalur
            memerkosa rumah-rumah yang teratur
perpustakaan mengaktifkan sistem pencernaan
            melebur buku-buku di lambungnya
munculnya lautan baru
di mana kau bisa menjaring air
air hujan dipaksa kembali ke langit
            sehingga bebunga tak jadi mekar
            sehingga api di rambutku tak jadi padam

yang terjadi di puisi ini adalah
aku semakin kehilangan definisi
keberadaanmu
ketika hendak membuatnya menjadi patung

(Jakarta, Agustus 2018)




Kata “Cinta” di Dalam Kamus

kau lupa kapan terakhir kali ada mata
menjilat tubuhmu yang berdebu.
mereka hanya membentuk
definisi tubuhmu sesuai

kehendak arus sungai di dalam
tubuh masing-masing. mereka pikir
tubuhmu sudah mendaging di kepala
dari tahun ke tahun, sehingga

tubuhmu tak diraba saban kamus
dijamah. maka, di luar kamus, terlihat
mereka mengunyah tubuh para kekasih,
mengatasnamakan tubuh putihmu yang agung.

(Jakarta, Agustus 2018)




Kabar Seekor Burung

setelah menelan bebiji puisi
di ladang penyair,
belulang di sayapnya rontok
bagai geligi busuk
di hari tua.

burung itu menyangka dirinya akan murung.
namun ia salah: rupanya ia masih bisa
diterbangkan bahasa, kepedihan, dan kesadaran.
lalu, di langit, sekonyong-konyong kakinya lenyap

umpama masa-masa muda.
burung itu tahu bahwa ia tak perlu murung,
sebab daratan tempatnya mendarat

kini menjadi variasi langit
yang kelak menjadi tempatnya

terjatuh dalam petualangan lain.

(Jakarta, September 2018)







Situasi-Situasi Batas

mungkin aku akan tetap duduk
di sini, memandangi seribu kemungkinan
jeda puitik bermekaran umpama bunga racun
di tubuhmu, beberapa meter dari mejaku.

mungkin akulah lelaki yang akan menjadi
bunga layu di meja kafe ini, pula pena
yang bingung harus mencatat apa tentangmu
dalam sebuah puisi di kelopak tubuhku.

mungkin aku tak perlu menghabiskan kopi ini;
aku tak sengaja menjadikan tubuhmu
sebuah metafora: kopi masam yang perlahan
menggelapkan kantukku.

aku ingin tetap terlena
dalam
tidur
dan
mimpi
dalam jeda puitik yang agung di tubuhmu
dalam jeda puitik yang kusunting terus-menerus.

(Jakarta, Agustus 2018)




*) Puisi-puisi ini dimuat di Bacapetra.co pada 20 Januari 2020.

Tidak ada komentar :