Sabtu, 30 April 2022

FILM PEMBALASAN DENDAM; dan Puisi-Puisi Lainnya

*Ilustrasi oleh: Budiono/Jawa Pos 



Film Pembalasan Dendam

 

setelah memasuki gudang kamera

di punggung kutub yang paling dingin,

bocah-bocah panas berebut keluar

dari mulut dari hidungku,

 

lalu kamera-kamera meleleh

dan membungkus sekujur tubuhku

—maka bersiap-siaplah:

aku bisa menjadi mata kail

 

menyusupi bola matamu,

aku berputar sebagai film horor

di balik tengkorakmu,

kau tak bisa kabur dari bioskop itu

 

ketika monster-monster merayap keluar

dari layar yang enggan membawa kapalmu melaju,

di lidah-lidah berduri mereka kau semanis

pop corn tenggelam dalam lumpur karamel panas,

 

dan tak ada jeritan kau terdengar

di telinga mana pun: aku menghapus track suara

sebelum meluncur menuju tungku panas

di ruang proyektor,

 

aku tinggal menghitung mundur

sampai seluruh nama di kredit berpulang

ke balik selimut beludru yang tebal

sebelum melihat tubuhmu

 

sebagai gulungan film yang terburai,

koyak di bawah langkah-langkah

para calon penonton memutari lobi bioskop:

tak ada poster wajahmu terpampang

 

di sisi dinding mana pun.

 

(Jakarta, Agustus 2021)




Bertemu Aljabar untuk Pertama Kali


aku tak tahu kalau angka boleh

berdiri di samping huruf—tahu-

tahu aku teringat temanku

mustafa


: mama melarangku main dengannya—

tuhan dan malaikat di pundak

kalian berbeda, nanti mereka bertengkar dan

tak ada siapa pun pada pundakmu—


mama yang bilang begitu

papa mati karena pundaknya

kosong, dan mama ingin aku

bersandar lebih lama


pada pundaknya—angka dan huruf:

berbedakah tuhan dan malaikat mereka?

kuharap mereka berbeda

kuharap mereka bertengkar


lagi pula tak ada yang suka melihat

angka dan huruf bersama

mereka tak semestinya seperti itu

kuyakin mama pasti setuju


dan bu guru bersalah:

pintu neraka akan terbuka di papan

tulis, kami sekelas akan mencatat:

tangan-tangan iblis menarik bu guru


ke tungku berlahar,

matematika kembali berjalan lurus

tiada yang tak bisa kami hitung

dengan sepuluh jemari 


(Jakarta, Agustus 2021)




Doa Terakhir, Mungkin


semalam adalah doa

terakhir

dengan lidah tersalib

dan mahkota duri mengikat lambung

dan bebatu mendarat di dasar paru-paruku


semalam adalah doa

di mana aku meminta

kau jangan bangunkan aku

dengan alibi apa pun


semalam paku-paku berkarat

terlepas dari langitmu

seperti malam-malam yang lalu


sepulang kerja di cermin aku

menatap tubuhku:

sebongkah bangkai yang lelah

dan bola arwah bodoh

bingung mencari jalan keluar

dari badan yang jelas penuh

lubangnya


maka semalam aku berdoa

dan semoga esok malam

aku tak usah lagi berdoa padamu


tapi pagi ini aku masih terbangun

sekali lagi

dengan lendir menetes

dari setiap ronggaku

dan seragam itu tak bosan-bosannya

mendekap bangkaiku


(Jakarta, Agustus 2021)





*) Puisi-puisi ini dimuat di Jawa Pos pada 24 April 2022.

Tidak ada komentar :