Minggu, 18 Februari 2024

VIRAL! -- Sebuah Cerpen




Orang bodoh adalah orang yang mati dengan cara bodoh dan gentayangan atas alasan bodoh.

Bintang bunuh diri tanpa wasiat. Sepulangnya aku dari kafe pada malam Minggu, lelaki bertubuh gagang sapu itu telah tergeletak di lantai, pucat, pisau dapur menancap di lehernya; darah meresap ke karpet bulu putih yang tergelar di antara kasurku dan kasurnya, karpet bulu yang kubeli secara daring karena dipromosikan selebriti di TikTok yang tahu betul cara menggoyangkan payudara dan bokong. Itu adalah cara bunuh diri yang bodohBintang mesti berkelejotan penuh derita sebelum mati—dan orang pintar pasti memilih cara mati tanpa sakit. Setidaknya, bunuh diri itu membuat si Sutradara, si Editor, dan si Videografer yang tidur di sebelah kamar kami langsung pindah dari mes ini ke indekos—dan aku menyukai keheningan, meski benci membuang karpet buluku.

Sebodoh-bodohnya cara Bintang bunuh diri, lebih bodoh lagi adalah alasannya gentayangan.

Tujuh hari setelah Bintang mati, sepulangnya aku dari kantor pukul delapan malam, setelah dua belas jam kepalaku terbakar akibat menyelesaikan empat skrip kampanye sabun wajah, saat aku menyalakan lampu kamar, tampaklah temanku itu duduk di tepi kasurnya. Aku memekik. Tapi aku segera menenangkan diri; Bintang sebagai hantu tak seberapa seram. Ia mengenakan celana panjang kain hitam dan kaus putih sebagaimana sehari-hari di kantor. Ekspresi dungunya masih sama: jika sedang tak berbicara, mulutnya terus setengah terbuka, menampakkan gigi tonggos penuh noda kopi dan rokok. Ketiaknya pun masih menyebarkan bau sandal gosong. Apa yang membedakannya kini dengan manusia hidup hanyalah kulit pucatnya plus bekas tusukan di leher—yang untungnya tak lagi mengucurkan darah. Aku bertanya kenapa ia bergentayangan, dan ia menjawab, “Aku ingin melihat kontenku viral.”

Aku langsung memaki si Sutradara dan si Editor dan si Videografer dalam hati. Di ruang kerja tim kreatif, mereka sering mengolok-olok Bintang, dan sekarang ia bergentayangan di depan mataku.

Sejak delapan bulan lalu, Bintang bekerja sebagai penulis skrip pertama di perusahaan kami, dan belum satu pun konten kampanye dari skripnya yang viral. Tim kreatif menjadi samsak tinju atasan. Nama baik tim kreatif terselamatkan dua bulan kemudian, ketika aku bergabung sebagai penulis skrip kedua, dan konten kampanye dari skrip pertamaku langsung viral di TikTok. Waktu itu perusahaan baru mengeluarkan krim pemutih ketiak, dan aku mengonsepkan eksperimen sosial: kamera tersembunyi menangkap reaksi orang-orang begitu melihat seorang wanita berketiak mulus, berkaus tanpa lengan, mengikat rambut di tempat umum.

Tidak semua skrip kampanyeku sukses. Malah lima puluh persen lebih tak mampu menyerap banyak penonton. Tapi tetap saja aku dipuji-puji para rekanku, karena Bintang tak kunjung menghasilkan skrip kampanye yang viral.

 

***

 

Dua hari sebelum Bintang mati, masing-masing kami menulis satu skrip kampanye krim antijerawat dan pelembap bibir. Dan kemarin, konten kampanye krim antijerawatku diunggah ke TikTok, dan per hari ini memperolah lima jutaan penonton. “Sial,” hantu Bintang  menggumam begitu aku memberitahunya soal itu.

Tadi sore konten kampanye krim antijerawat Bintang diunggah ke TikTok. Saat ia bertanya berapa jumlah penontonnya, aku tak tega untuk jujur.

“Di akhirat tidak ada internet, eh?” tanyaku.

“Kau tidak menjawab pertanyaanku,” balas Bintang.

Mengembuskan napas pasrah, aku membuka TikTok dan menunjukkan langsung padanya: tiga jam setelah diunggah, konten baru ditonton sekitar enam ribu orang—angka yang layak dihina, karena kontenku minimal ditonton lima puluh ribu orang dalam sejam.

Bintang pun menutup wajah dengan tangan dan tersedu-sedu. Apakah keviralan konten menentukan layak-tidaknya seseorang masuk ke surga? Aku ingin menepuk-nepuk pundaknya, tapi gagasan menyentuh hantu sontak memberdirikan bulu kudukku. Pasti tak bijak untuk sembarang menyentuh entitas tak dikenal. Jadi aku hanya duduk di kasurku. Aku mengantuk, tapi keberadaan hantu yang menangis bukanlah situasi ideal untuk tidur. Aku ingin menyarankannya kembali ke akhirat dan melupakan urusan konten duniawi, tapi aku takut melukai perasaannya; kita tak tahu apa yang bisa hantu perbuat jika terluka.

Tiba-tiba, entah atas dasar apa, mulutku melontarkan kalimat bodoh: “Aku akan memeriksa skrip kampanye pelembap bibirmu. Skrip itu akan disyutingkan lusa.”

Bintang mendongak ke arahku.

“Maksudku, ayo kita bedah skrip itu. Jika perlu revisi, aku bersedia membantu.”

Mata Bintang berbinar.

Tim kreatif memiliki Google Drive bersama; aku membuka laptop di meja belajar dan membuka fail skrip Bintang. Membaca skrip itu, aku semakin yakin si Sutradara selalu “pasrah” menerima skrip: ide konten ini tak akan viral sampai kiamat!

Beginilah isi skripnya: Tokoh Utama Perempuan berjalan sendiri di mall, tak sengaja bertemu teman-temannya semasa SMA, bertukar kabar, dan tibalah momen bodoh itu, ketika tiba-tiba salah seorang teman bertanya bagaimana bisa bibir si Tokoh Utama Perempuan selalu lembap, dan si Tokoh Utama Perempuan mempromosikan pelembap bibir. Demi seluruh arwah di akhirat, aku berani bertaruh bahwa sembilan puluh persen penonton berhenti menyaksikan iklan ini di tiga detik pertama.

Sebagai tahap awal pembedahan skrip, tentu aku harus menyatakan penilaianku sejujur-jujurnya. Tapi, begitu aku menoleh ke Bintang yang berdiri di sampingku, dengan tatapan berbunyi, “Selamat! Kau baru saja membaca mahakarya!” rasanya aku harus melompati tahap awal ini. Aku takut mengecewakan hantu; kita tak tahu apa yang bisa hantu perbuat jika dikecewakan.

“Bagus,” komentarku akhirnya. Tersenyum tak pernah sesulit ini. Saran terbaikku adalah lupakan skrip ini dan tulis skrip baru—tapi aku malah berkata, “Ada sedikit bagian yang sebaiknya kita revisi.”

Binar di mata Bintang seketika berganti menjadi … percikan api neraka? Ia seolah ingin merasukiku, membuatku melompat dari atap gedung.

“Baik,” balasnya, “bagian mana yang harus aku revisi?”

“Bukan harus, tapi sebaiknya.” Aku berdeham sebelum menjabarkan pendapatku dengan nada seorang dokter yang, kepada sepasang suami-istri, mengabarkan bahwa bayi mereka tak mungkin selamat. Aku menyarankan Bintang menghapus seluruh basa-basi di pembuka, dan memulai adegan langsung saat salah seorang teman SMA bertanya tentang lembapnya bibir si Tokoh Utama Perempuan.

Bintang tersenyum mencemooh. “Kau tak paham seni.”

Setan alas. Jika ia bukan hantu, akan kubuat ia menjadi hantu.

Dengan tatapan merendahkan, Bintang menjabarkan definisi seni padaku, berkali-kali menitikberatkan klausa seni adalah representasi realitas. “Sekumpulan orang bertukar kabar adalah realitas. Realitas akan membuat penonton teridentifikasi. Identifikasi akan membuat penonton ingin membeli produk. Sesimpel itu.

“Penonton bosan pada realitasmu.”

“Kau benar-benar tak paham seni.”

Singkat cerita: Bintang hanya menyetujui penghapusan bagian awal di mana si Tokoh Utama Perempuan berjalan sendiri. Jadi, adegan dibuka langsung saat ia bertemu teman-temannya dan berbasa-basi.

“Kau yang harus menghapusnya,” kata Bintang. “Jika kontenku gagal viral karena bagian itu dihapus, kau akan merasa bersalah.”

Aku memblok bagian itu dan, seperti penjagal yang tak sabar membantai seekor sapi, telunjukku menghunjam backspace.

Bintang pun mengucapkan selamat tinggal dan lenyap seketika.

 

***

 

Selama seminggu hantu Bintang tak pernah muncul. Si Sutradara menyetujui revisi yang kulakukan pada skrip Bintang, dan syuting berjalan lancar. Hidupku damai-damai saja, sampai pada hari ketika konten itu akan diunggah, pada Minggu sore yang mendung dan membosankan. Bintang mendadak muncul dari kekosongan saat aku sedang berbaring di kasur, menonton seorang selebriti menggoyangkan payudara dan bokong dan menarik sepuluh juta penonton di TikTok.

“Semoga aku bisa tenang hari ini,” kata Bintang.

Pukul 16.55. Lima menit lagi konten Bintang akan diunggah. Dan Bintang tak akan tenang hari ini: kontennya yang “realis” pasti tak viral.

Berapa lama lagi aku harus menghadapi hantu bodoh ini?

Tiba-tiba, sebuah portal terbuka di lantai tengah ruangan. Portal memancarkan cahaya kemerahan dan menaikkan suhu ruangan secara drastis. Ujung lidah-lidah api menjilat keluar. Asap dan bau yang sepuluh kali lebih busuk dari selokan hampir meledakkan hidungku. Kemudian, memanjat keluarlah sesosok pria botak dan kekar dan telanjang bulat, kulitnya berminyak dan semerah darah, kepalanya hampir menyentuh langit-langit. Dari ekspresi Bintang, hantu itu jelas tak ingin menemui si Pria Merah. Jantungku berdentam-dentam.

“Jangan kabur lagi, Anak Muda,” desis si Pria Merah.

Ia mencengkeram ubun-ubun Bintang, mengangkatnya tanpa beban, mengarahkannya ke atas portal. Bintang menjerit sejadi-jadinya, mencakar-cakar tangan si Pria Merah yang tetap bergeming. Suhu ruangan terus meningkat sampai kulitku memerah dan berkeringat total, asap dan bau busuk yang memekat membuat mataku penuh air dan kesadaranku hampir melayang. Bagaimanapun, kejadian begini tak akan terulang: aku mengeluarkan ponsel dan mengaktifkan kamera: kejadian ini pasti viral!

Namun, mereka berdua dan portal itu tak tertangkap kamera. Di layar ponsel hanya tampak kamarku sebagaimana adanya, kamarku tanpa kejadian apa pun—bahkan asap yang hampir sepenuhnya memutihkan pandangan juga tak tampak.

Bajingan!!!” Bintang memekik.

Si Pria Merah pun menjatuhkan Bintang ke portal, lantas ikut terjun ke sana dan portal menutup. Udara kamarku seketika bersih dari asap dan bau busuk, suhu menurun ke titik normal. Detak jantungku memelan. Minggu kembali membosankan.

Sayang sekali, aku gagal mendapatkan video yang pasti viral. Tapi untung saja si Pria Merah muncul: Bintang jadi tak perlu melihat kontennya terunggah dengan jumlah penonton sesepi kuburan.

Aku merebahkan diri di kasur dan membuka TikTok. Di FYP, seorang selebriti berjoget, hanya mengenakan tanktop hitam dan celana pendek, dan ia melingkarkan karpet bulu putih ke tubuhnya seperti kemban. Aku perlu membeli karpet bulu baru.




*) Cerpen ini dimuat di Bacapetra.co pada 7 Januari 2024.

Tidak ada komentar :