Selasa, 08 September 2020

SANG AHLI RACUN -- Sebuah Cerpen

 purple jungle and lake

*Sumber Gambar: Pinterest



Dengan bayi sekarat di gendongannya, Tajul memasuki Hutan Satani yang dipenuhi tetumbuhan subur berwarna ungu, hutan yang pada bagian tengahnya berdiri gubuk reot tempat tinggal sang ahli racun.


Menjumpai sang ahli racun adalah pilihan terakhir yang Tajul ambil setelah bayinya sekarat selama seminggu, meski tak sedikit orang yang menyarankannya untuk tak mengambil pilihan tersebut. Mereka berpikir bahwa lebih baik bayi itu menderita sampai mati, ketimbang Tajul mesti ikut mati dengan menjumpai sang ahli racun dan mengalami kehancuran organ-organ dalam tubuh. Atau, lebih buruk, Tajul dan bayinya mengalami hal menyakitkan itu bahkan sejak memasuki Hutan Satani yang telah sang ahli racun jadikan daerah kekuasaan, hutan yang dulunya sehijau rumput-rumput yang baru bertumbuhan di tanah makam Istri Tajul. Namun, berkat perasaan bersalah sebesar pepohonan di sekelilingnya kini, Tajul memutuskan untuk mengambil pilihan terakhir itu.


Tak lama, Tajul tiba di depan pintu gubuk sang ahli racun. Kata orang-orang, “Seandainya kau memasuki gubuknya, jangan menyentuh benda apa pun yang ada di sana. Apalagi sampai menelan makanan-minuman yang disajikan. Segala apa yang ada di sana pasti beracun. Kalau bisa, malah sebaiknya kau tak usah menghirup udara di dalam gubuk itu!” Dan Tajul berpikir, sangatlah mungkin bahwa pintu gubuk itu telah diolesi racun yang dapat menggerogoti kulit tangannya.


Tiba-tiba, pintu gubuk dibuka dari dalam. Tajul segera menghirup aroma tengik yang berembus dari dalam sana, segera tak sengaja menatap sepasang mata wanita paruh baya, wanita yang konon tatapannya sungguh beracun.


“Masuklah.”


Mendengar kalimat itu, Tajul tahu dirinya sudah tak mungkin lari dari hadapan sang ahli racun, sekalipun ketakutannya telah meluap secara hebat. Seolah-olah kalimat wanita itu meracuni kehendak Tajul untuk lari, sehingga kehendak tersebut mati seketika.


Melewati pintu masuk gubuk, Tajul menjumpai ruang persegi yang membuatnya dipenuhi perasaan tak nyaman. Berseberangan dengan pintu masuk, terdapat selembar tirai merah yang menutupi ruang-entah-apa di baliknya. Di tengah ruang, terdapat dua kursi berhadap-hadapan, seakan keberadaan ruang itu memang hanya untuk sang ahli racun dan Tajul—beserta bayi di gendongannya. Selain itu, tak tampak hal lainnya.


Diarahkan sang ahli racun, Tajul duduk di salah satu kursi, sedang wanita itu duduk di kursi satunya lagi. Duduk sedemikian dekat dengan sang ahli racun, Tajul merasa berada di dalam gelembung rapuh, sementara di luar gelembung adalah udara beracun yang panas.


“Mestinya aku menyuguhkan teh dan makanan ringan,” ucap sang ahli racun. “Tapi kau akan menyangka aku hendak meracunimu.”


“Tolonglah anakku ....” Suara Tajul bergetar.


“Aku tahu kau akan mengucapkan itu.” Sang ahli racun diam sejenak. “Dari aroma napasnya, aku tahu bayimu telah menelan racun dari bunga Alph belum lama ini. Racun itu memang mempunyai aroma khas. Tapi hanya orang-orang tertentu yang bisa membauinya, sehingga wajar jika kau tak menyadari aroma tersebut.”


Tajul menelan ludah. Ia harap wanita itu mau langsung mengobati bayinya, tanpa melontarkan pertanyaan-pertanyaan personal terlebih dahulu.


“Semestinya naga dewasa pun segera tumbang setelah keracunan bunga Alph,” sambung sang ahli racun. “Anehnya, bayimu—”


“Belum ada yang berhasil mengobati bayiku,” sela Tajul. “Lalu, aku berpikir, semestinya orang yang paling mengerti cara mengobati racun adalah orang yang ahli membuat racun—”


“Walaupun orang-orang di sekitarmu sepertinya curiga bahwa akulah yang atas suatu alasan meracuni bayimu, setelah meracuni istrimu,” tukas sang ahli racun. “Bukankah begitu?”


Tajul semakin ketakutan. Ia curiga, jangan-jangan wanita di hadapannya bukan hanya ahli membuat racun, melainkan pula ahli membaca pikiran.


“Jika bukan kau yang meracuni istriku, bagaimana bisa kau tahu bahwa istriku mati keracunan?!” Tajul tak menyangka ketakutan yang meningkat dapat menaikkan nada bicaranya. “Jarak antara tempat tinggal kita lumayan jauh. Lebih-lebih, tempat ini begitu terasing. Bukankah aneh bila kabar kematian istriku sampai kemari?!”


Sang ahli racun tersenyum licik. “Kau mencurigaiku sekarang?”


“Tentu saja!”


“Baiklah. Silakan pergi dari sini.


Tajul terdiam. Tatapannya terarah ke lantai. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi ia tergagap-gagap sehingga kalimatnya tak kunjung keluar secara tuntas. Akhirnya, Tajul menyerah untuk berkata, dan menatap sang ahli racun dengan tatapan memohon.


Sang ahli racun tertawa mengejek. “Seandainya kau memang mencurigaiku, kenapa kau masih ingin meminta pertolonganku?”


Tampaklah ketakutan di wajah Tajul semakin bertumbuh subur. Ia merasa gelembung yang mengurung—atau melindungi—dirinya menjadi bertambah rapuh.


“Bagaimanapun, aku akan menolong bayimu,” sambung sang ahli racun. “Kemarikan bayimu.”


“A-apa?”


“Biarkan aku menggendong bayimu. Tenang saja, aku tak akan meracuninya. Kalau memang itu yang kukehendaki, aku bisa meracuni air yang bayimu minum tadi pagi, sehingga tubuhnya membusuk secepat daun gugur mencapai tanah.”


Jeda beberapa jenak. Tajul tak kunjung menyerahkan bayinya.


“Aku memang benar-benar ingin menolong bayimu,” lanjutnya. 

“Aku paham, kehilangan adalah racun paling menyakitkan. Aku pernah merasakan racun itu saat suamiku membawa kabur bayiku bersama wanita simpanannya.”


Mendengar kalimat itu, Tajul lantas membiarkan sang ahli racun menggendong bayi sekaratnya. Sang ahli racun, dengan tatapan keibuan yang muncul secara tak terduga, tersenyum ke arah wajah sang bayi, lalu melantunkan sebuah lagu yang sering almarhum Istri Tajul lantunkan untuk membuat bayi itu tertidur. Suara merdu sang ahli racun membuat Tajul mematung. Membuat Tajul yakin bahwa tak akan terjadi hal buruk saat wanita itu membawa bayinya memasuki ruang-entah-apa di balik tirai merah.


Sang ahli racun keluar dari ruang tersebut sekitar tiga puluh menit kemudian, dan selama itu pula Tajul menunggu dengan sabar di kursinya. Bayi Tajul tak ada di gendongan sang ahli racun, bayi itu pasti ditinggalkan di dalam sana.


Setelah duduk di kursinya, sang ahli racun berkata, “Bayimu sudah sembuh.”


“Hah? Secepat itu?” Dengan gerakan cepat, Tajul langsung bersujud dan menciumi kaki wanita itu. Tersedu-sedu, Tajul bertanya, 


“Bagaimana caraku membalas kebaikanmu?”


“Biarkan aku menjaga bayimu.”


“Maksudmu, bayiku belum sepenuhnya sembuh, jadi kau mesti merawatnya selama beberapa hari?”


“Bukan begitu, Bodoh. Bayimu sudah sepenuhnya sembuh. Namun, aku akan merasa amat berdosa bila membiarkan ia tumbuh serumah dengan orang yang membunuh ibunya.”


Tajul terbelalak kaget dan bangkit perlahan. Gelembung rapuh yang melindunginya dari udara beracun panas pun pecah. Tajul baru akan menjotos rahang sang ahli racun, ketika tiba-tiba wanita itu berdiri dan menancapkan sebatang jarum kecil ke lehernya. Tubuh Tajul seketika lumpuh dan tumbang.


“Aku sudah bisa membaca hampir segalanya,” ucap sang ahli racun. 


“Karena bayi itu belum mati, berarti ada yang membuat racun Alph melemah. Dan, aku tahu betul, racun Alph hanya bisa menjadi selemah itu jika terkontaminasi air susu ibu.”


Tajul ingin melontarkan kalimat. Tapi lidahnya kaku.


“Kau mungkin ingin membela diri,” sambung sang ahli racun. “Tapi kau tak bisa membohongiku. Barangkali kau tak tahu bahwa saking kuatnya racun bunga Alph, ketika menyentuhnya pun kau telah keracunan. Tetapi, efeknya tak semematikan jika ditelan, setidaknya sampai dua minggu kemudian. Dan, kau yang ternyata telah keracunan pun mengeluarkan aroma napas khas yang sudah kuendus dari awal perjumpaan kita.”


Andai saraf-saraf di tubuhnya tak lumpuh, tubuh Tajul pasti akan bergetar hebat, karena ia merasa begitu ditelanjangi.


“Aku membayangkan kejadian ini: setelah kau meracuni istrimu lewat makanan atau minuman, istrimu itu langsung menyusui bayi kalian. Sayangnya, kau telat mencegahnya. Karena tak berniat untuk membunuh bayi itu, kau merasa berdosa dan membawanya kemari. Sungguh pilihan yang tepat.


“Dan, sebagai bentuk ucapan terima kasihku karena kau telah membawa bayimu kemari, pada jarum di lehermu itu telah kuoleskan penawar racun Alph, selain racun tak mematikan yang melumpuhkanmu hanya selama tiga jam.


“Omong-omong, kurasa kini sudah tiba waktu bagiku untuk mengucapkan selamat tinggal.”


Wanita paruh baya itu menghilang di balik tirai merah. Sekitar sejam kemudian, ia keluar dari sana dengan membawa bayi Tajul dan buntalan kain yang tersampir di punggung. Sang ahli racun lantas meninggalkan gubuk.


Ketika akhirnya tubuh Tajul tak lagi lumpuh, ia segera bangkit, mencabut jarum di lehernya, dan cepat-cepat keluar dari gubuk. Lalu, Tajul tercekat; tumbuh-tumbuhan di Hutan Satani kini tak lagi berwarna ungu, melainkan kembali ke warna yang semestinya. Tajul langsung menangis meraung-raung.


Tajul merasa lebih baik dirinya tetap dihinggapi racun Alph, ketimbang disiksa oleh racun paling menyakitkan, bernama kehilangan.




*) Cerpen ini dimuat di Cendana News pada 25 Juli 2020.

Tidak ada komentar :